Peyek Tumpuk, masterpis Mbok Tumpuh


Apabila melahap sepiring Nasi Pecel (Sego Pecel : Jw), maka tentu lebih afdhol bersama gorengan tipis tepung beras atau tepung gandum yang didalamnya terdapat kacang tanah (juga bisa teri atau udang kecil). Makanan kecil ini lazim disebut Peyek (Rempeyek).

Tidak seperti pada umumnya Peyek yang menjadi pendamping lezatnya Nasi Pecel tadi, yang satu ini memiliki tekstur yang tak beraturan dengan warna putih, sehingga sekilas tak terpikir penganan itu adalah peyek. Ketika mencobanya maka rasa renyah dan gurihnya yang akan terekam memori bawah sadar kita. Pada saat mengunyahnya, kacang tanah diantara balik tepung makin menggelitik mulut kita. Sungguh dengan penampilannya yang ‘bersahaja’ itu justru memberikan semacam kejutan bagi penikmatnya.

Dengan adonan berupa campuran tepung, telur, dan kacang tanah, dan kemudian digoreng dua kali. Hingga keesokannya, digoreng lagi agar memiliki warna yang putih dan makin berasa renyah. Bahkan kalau digoreng tiga kali juga akan membuat peyek jadi awet, bisa tahan dua minggu.

Sahdan, Mbok Tumpuh sang penemu dan penggagas peyek ini mulai merintisnya sejak tahun 1975. Membuat dan memasarkannya sendiri. Sedari bakulan kecil yang dikenal segelintir orang hingga kemudian berkembang sebagai makanan khas yang terkenal sekarang ini. Selain karena bentuk yang nyaris mirip tumpukan kacang bertepung, dan mengapresiasi sang maestro maka nama makanan ini disebut Peyek Tumpuk. Dan yang unik, hubungan emosional masyarakat menjadi bagian yang melekat dari nama ini, sebab nama yang lantas menjadi brand ini adalah pemberian para pelanggan setianya. Hal ini ungkap Arif Diharto Ambarwirawan atau yang akrab dipanggil Mas Kelik, menantu sekaligus pengelola warung oleh-oleh “Mbok Tumpuk”.

Ketenaran peyek tumpuk ini telah meluas hingga ke luar kota. Tak heran bila pelancong dari luar kota menyempatkan datang ke Bantul untuk memborong peyek ini. Bagi warga Jogja sendiri, peyek tumpuk kerap dijadikan oleh-oleh saat hendak berkunjung ke sanak saudara di luar kota. Dengan harga per ½ kg yang dibandrol 13.000 rupiah, memang terbilang lebih mahal dibanding peyek biasa. Namun, harga ini sebanding dengan cita rasa yang dimilikinya. Tak heran, warung oleh-oleh ”Mbok Tumpuk” yang terletak di Jl Wachid Hasyim No 104 Bantul ini senantiasa dipadati pembeli. ”Omsetnya sehari 20 sampai 25 kg. Kalau lebaran bisa sampai 2 kuintal per hari,” terang Mas Kelik.

Dalam Ajang Promosi potensi Kabupaten Bantul bertajuk Bantul Ekspo (BE) 2009 yang akan digelar 1‑11 Agustus mendatang di Pasar Seni Gabusan (PSG), Pemkab Bantul mengangkat Peyek Tumpuk ini sebagai maskot event. Pemilihan peyek tumpuk juga didasarkan pada pertimbangan kreativitas masyarakat. Selama ini belum banyak yang membuat peyek tumpuk. Di Bantul, usaha peyek Mbok Tumpuh sudah dikenal masyarakat luas.

"Dengan menampilkan peyek tumpuk, harapannya brand image Bantul bisa terangkat. Kemarin kami hanya fokus pada image kerajinan dan wisata alam, padahal potensi kuliner juga tak kalah hebatnya," demikian alasan yang disampaikan Kepala Humas Pemerintah Kabupaten Bantul, Bambang Legowo.
Meskipun sudah bukan ditangani oleh Mboh Tumpuh sendiri, usaha kuliner ini sekarang dilanjutkan oleh anaknya Sri Kasih dan suaminya, Kelik. Bahkan semakin maju dan terkenal luas. Tentu dahulu tak pernah terbayangkan oleh Mbok Tumpuh sang penemu, bahwa makanan tersebut akan seterkenal ini. Memiliki omzet ekonomis yang sangat menggiurkan dan bahkan memperoleh pengakuan sebagai salah satu ikon daerah. Kesederhanaan latar belakang beliau pada saat memulai usaha ini tentu tanpa perspektif Visi dan Misi yang rumit seperti halnya pendekatan entrepreneurship modern yang kini teramat canggihnya.

Sambil menikmati peyek tumpuk bersama segelas teh manis hangat, sayapun mencoba menyimpulkan satu hal kecil, “Bahwa ketekunan, konsistensi, kerja keras, dan kesederhanaan akan memberi kita sesuatu yang luar biasa dan melebihi dari sekadar ekspektasi. Mbok Tumpuh adalah bukti nyata bagi saya”.

©sonny t atmosentono.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer