CERITA KECIL di KIOS POTONG RAMBUT



Kalau harus berhubungan dengan urusan penampilan, maka menata rambut akan menjadi satu bagian penting yang tak terlewatkan. Potong rambut praktis juga akan terkait dengan keperluan tata-menata rambut ini. Sebab sebagaimana kuku, rambut kita akan senantiasa tumbuh sepanjang hayat di kandung badan. Nah, oleh karenanyalah kemudian bertebaran jasa memotong dan menata rambut ini di mana-mana. Mulai dari yang eksklusif dan mahal sekelas salon -baik yang sudah terkenal dan branded atau salon-salon sederhana- hingga kelas tukang potong rambut –baik yang menetap di sebuah tempat atau kios maupun yang keliling dan mangkal di bawah pohon (istilahnya DPR = dibawah pohon rindang)-.

Khusus tukang potong rambut yang buka di kios, yang banyak bertebaran di antero nusantara biasanya erat dikaitkan dengan ‘merk’ kedaerahan asal si tukang potong. Yang kondang misalnya Potong Rambut ASGAR (Asli Garut) dan Potong Rambut Madura. Atribut
‘promordial’ tersebut seperti jadi jaminan mutu atau kualitas servis tertentu yang memberi kepastian hasil akhir bagi pelanggan-pelanggannya.

Sebut saja, Gugum (44) pria asli Garut yang sudah 23 tahunan buka kios potong rambut di sekitar Pasar Jatinegara. Menurutnya -dari pengakuan para pelanggannya- mereka memilih potong rambut di tempatnya bukan cuma karena ‘ongkos murah’ (5000 rupiah bagi anak-anak, dan 8000 untuk dewasa) tapi juga karena selalu dapat mengikuti trend yang berkembang. “Dulu orang pernah suka potongan gaya Rano Karno atau Herman Felani. Lalu kemudian gaya mandarin seperti artis-artis Hongkong macam Andi Law yang ‘kembung di belakang’ itu. Lalu ada lagi gaya cepak tentara (mungkin saat trend Army Look-nya Tom Cruise jaman film Top Gun)..ya saya harus bisa motong seperti yang dimaui pelanggan.” Memang kebanyakan hanya pelanggan pria yang datang ke tempatnya.

Lain lagi cerita Rofik (36) yang asal Madura. Dia pertama kali ke Jakarta 18 tahun silam diajak pamannya yang bekerja pada pengepul besi tua di kawasan Tanjung Priok. Namun karena merasa terlalu berat untuk bekerja di bidang tersebut dia mencoba peruntungan dengan menjadi tukang potong rambut. “Saya tadinya hanya menumpang kerja sama tetangga kampung yang sudah lebih dulu buka potong rambut. Diberi satu meja dan setor separuh bayaran jasa potong pada dia sebagai sewa tempat dan alat”. Berkat keuletan dan hasil menabung, pada akhirnya 5 tahun lalu Rofik bisa buka kios sendiri, dan tentu masih sama dengan ‘merk’ Pangkas Rambut Madura-nya. Umumnya, pelanggan Rofik adalah kalangan karyawan dan pegawai menengah ke bawah serta pelajar. “Murah meriah dan ada bonus pijitnya..” ujarnya berpromosi. Dan memang kebanyakan di Potong Rambut Madura, pelanggan akan selalu mendapat servis tambahan pijit pundak, leher hingga kepala pada akhir ‘prosesi’ potong rambut. Dari usahanya tadi, dia kini sudah memiliki sebidang tanah dan beberapa ekor sapi di kampungnya di Madura. “Saya juga sudah nabung buat naik haji..moga-moga tiga tahun lagi cukup buat ke tanah suci”.

Di ujung percakapan dengan Rofik sayapun bercerita padanya tentang kisah bekas kawan sekolah saya yang juga sukses buka usaha Potong Rambut Madura di Jogja. Sebagai tulang punggung keluarga di kampung halaman, dia telah berhasil mengangkat taraf ekonomi keluarganya. “Sekarang dua adiknya ikut dia di Jogja. Yang satu di UGM dan satu lagi di UII…”papar saya. “Wah hebat Mas, adik-adiknya itu bisa kuliah di universitas top, ya..?” sahut Rofik spontan. Sayapun segera menimpalinya, “Bukan kuliah…tapi juga ikut buka kios potong rambut buat mahasiswa !!”. Dan Rofikpun terbahak mendengar jawaban saya.
©sonnyatmosentono.2010

Postingan Populer