In Memoriam, Pak Noer


Awal tahun sembilanpuluhan silam bersama beberapa aktivis organisasi mahasiswa asal Madura kami mendatangi kediaman pribadi RP. Mohammad Noer untuk suatu keperluan. Di depan teras rumahnya beliau berdiri gagah sembari sesekali melakukan gerakan olahraga ringan. Maklum, beliau termasuk orang yang sangat peduli kesehatan dan sekaligus aktif mengurus sebuah yayasan mengenai jantung. “Sudah bikin janji sebelumnya ?” Tanya beliau pada para mahasiswa tadi . “Maaf, belum..” sahut seorang dari mahasiswa tadi. “Waa..kalau gitu kalian daftar dulu sama ajudan !” sergah Pak Noer –sapaan akrabnya-. Sekilas terkesan sangat arogan dan feodal dari sikap tokoh sesepuh Jawa Timur tersebut. Kami yang sudah bertemu langsung dan berhadapan begini lha kok masih harus disuruh ‘retreat’ melalui ‘jalur protokoler’ segala. Namun, penjelasan setelahnya justru membuat kami anak-anak muda –yang notabene masih satu daerah asal- tersebut memaklumi dan mengamininya. “Soalnya, saya sudah punya janji sama orang..kalau saya menerima kalian lantas tamu saya tadi datang ‘kan kasihan nanti dia yang malah nungguin. Dan kalian pasti juga terganggu bila nanti pembicaraan kita terpotong..” Maka kamipun dengan rela suka hati antri di beranda dengan ditemani hidangan seteko teh hangat dan setoples rengginang.

Membicarakan dinamika Jawa Timur tak bisa lepas dari tokoh asal Madura satu ini. Sederet prestasi selama sepuluh tahun kepemimpinannya sebagai Penjabat Sementara Gubernur (1967), Penjabat Gubernur (1967-1971) dan Gubernur KDH Tingkat I Provinsi (1971-1976) menorehkan kesan mendalam dan tapak tilas prestasi yang tidak sedikit. Keberpihakan arah dan sasaran pembangunan pada rakyat kecil membuatnya dikenal sebagai Gubernure Wong Cilik, hal ini dipertegas dalam Sidang Umum MPR 1973 ketika dia selaku ketua Fraksi Utusan Daerah mengusung visi tentang GBHN yang berpihak pada rakyat kecil di pedesaan. Salah satu ungkapannya yang sangat terkenal saat itu adalah “Agawe wong cilik melu gumuyu” (Membuat rakyat kecil bisa ikut tertawa). Keberhasilan Jawa Timur dalam mengimplementasikan program BUUD/KUD di tengah polemik kegagalan di berbagai daerah di masa awal Repelita Orde Baru membuat Jawa Timur menerima Parasamya Purnakarya Nugraha, suatu yang layak atas prestasi karya nyata yang dibuahkan. Mohammad Noer, adalah satu-satunya Gubernur dari kalangan sipil –non militer- di Jawa di era awal Orde Baru. Benar-benar birokrat karir yang merintisnya mulai dari pegawai magang di kantor bupati Sumenep, mantri, asisten wedana, wedana, sebagai patih hingga bupati di Bangkalan, menjabat pembantu gubernur hingga akhirnya menjadi gubernur Jawa Timur. Dengan kematangan pengalaman kepamongprajaan itulah, Pak Noer berhasil memimpin daerahnya dengan gemilang.

Bagi rakyat Jawa Timur, sosok yang religius –sebagaimana anutan kebanyakan orang Madura yang menjunjung filosofi bu-pa’ babu guru rato- tak akan terlupakan bagaimana meredakan carok massal -pertikaian berdarah yang penuh dendam- antara warga Bangkalan dan Sampang, dimana pada 17 Mei 1974 beliau mengumpulkan para tokoh yang bertikai untuk bersama membuat ikrar perdamaian sakral setelah shalat Jumat di Masjid Ampel. Juga ketika memutuskan untuk memakamkan 184 syuhada haji korban kecelakaan pesawat di Srilanka pada Desember 1974 di area Masjid Sunan Ampel demi memberi penghormatan dan menghindarkan kekacauan proses identifikasi serta penyelenggaraan jenazah di kalangan ahli warisnya. Pak Noer pula yang pada awalnya giat menggagas pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Madura dan Jawa. Jembatan yang akhirnya berjuluk Jembatan Suramadu itu kini berhasil terwujud sebagai yang terpanjang pertama di Asia Tenggara. Bahkan sampai sekarang masih selalu terdengar anekdot tentang orang Jawa Timur yang bila ditanyakan siapa Gubernurnya, tentu dijawab dengan tegas, “Pak Noer !!”..sementara Gubernur-Gubernur setelahnya bahkan yang saat ini menjabat tak lain hanya ‘sekedar penggantinya’.

Pada Jumat 16 April 2010, Pak Noer dalam usia 92 tahun telah kembali pada penciptanya. Bagi bangsa yang ditinggalkan ini, almarhum telah sempurna menyelesaikan tugas-tugasnya sebagaimana filosofi Madura yang erat dipegangnya. Lelaki kelahiran Kampung Beler, Rong Tengah Sampang ini adalah bu-pa’ babu (orang tua dan sesepuh) yang mengasihi dengan tulus, menjadi simbol panutan dan teladan yang baik serta tak putus mewejang penuh nasehat pada setiap penerusnya. Pak Noer adalah guru (pengajar dan alim ulama) yang sangat mengedepankan nilai spiritual dan religiusitas di setiap langkah hingga akhir hayatnya. Pak Noer juga seorang rato (pemimpin) yang penuh kharisma, disiplin, adil dan senantiasa membela mereka yang lemah. Semoga Allah memberi tempat terbaik kepada almarhum sebagaimana amal dan ibadahnya semasa hidup.. ©sonnyatmosentono

Komentar

Postingan Populer