Mutasi Sosial ala Warung Kopi


Sebagian masyarakat kita adalah penikmat kopi, dan untuk sebagian dari kalangan tersebut memilih untuk menikmati kopi mereka pada sebuah warung kopi, café, kedai atau resto. Bukan cuma lantaran lebih praktis -tanpa perlu menakar, mendidihkan air dan mengaduk sendiri kopi mereka- namun lebih banyak karena alasan gaya hidup dan pergaulan. Komunitas penikmat kopi demikian tidak hanya di kota besar bahkan juga di daerah-daerah di berbagai pelosok dunia.

Tidak jauh dari Masjid Agung kota kecil Bangkalan di sisi barat Madura kita akan dapat jumpai satu warung sederhana di tepian alun-alun. Tepat di bawah barisan pohon-pohon besar samania-saman yang telah berusia lebih dari seabad tersebut warga kota akrab dengan kehadiran warung kopi out-door yang tampak cukup kecil dan bersahaja. Hanya berupa kios –mereka lebih suka menyebutnya rombong- dengan perangkat meja kecil dan beberapa bangku dingklik dan kursi plastik yang sering ditata sesuka selera pengunjungnya. Inilah warung Hona.
Hona, adalah nama perempuan paruh baya pemilik warung ini. Saya tak pernah tahu persisnya kapan warung ini ada..sebab ketika daerah sekitar alun-alun ini masih menjadi bagian dari terminal kota –yang kini telah dipindahkan- di akhir 80-an warung-warung kopi semacam ini sudah ada. Jadi, bisa saja duapuluh tahunan sudah warung kopi Hona ini berdiri.

Dahulu, warung kopi semacam ini menjadi sering menjadi persinggahan para pekerja terminal dan terutama di malam hari. Sehingga stigma negatif kala itu mengenai kehidupan malam dan warung ‘remang-remang’ mewarnainya. Namun seiring waktu, ketika terminal sudah dipindahkan maka tidak sedikit pelajar dan pemuda-pemuda kota kecil tersebut yang menggantikan tempat sebagai pelanggannya. Hal ini menjadi babak baru eksistensi sebuah warung kopi yang ‘sekadarnya’ menjadi tempat berkumpul suatu kelompok masyarakat dan pir-grup tertentu.

Ketika usia kelompok masyarakat pelanggan tadi beranjak dewasa mereka tidak serta merta meninggalkan ‘hobi’ untuk berkumpul atau ‘kongkow-kongkow’ di warung Hona tadi. Bahkan kebiasaan ini mewabah dan membentuk generasi-generasi lanjutan yang makin subur mengikuti para pendahulunya. Sementara saat ini para pendahulu –yang tentu sudah bukan remaja lagi- adalah kelompok kelas menengah yang memiliki peran strategis dalam lingkungan warga kota kecil itu. Maka warung kopi Hona ini sekonyong-konyong mengalami semacam mutasi eksistensi sosial yang lumayan signifikan.

Pertemuan kelompok-kelompok masyarakat di warung kopi ini menjadi lebih beragam dengan adanya pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, pengusaha, wartawan, aparat keamanan, bahkan tokoh agama dan anggota dewan perwakilan yang terhormat. Mulai dari sekedar basa-basi dan komunikasi sosial hingga pertukaran informasi dan berita termutakhir serta bahasan topik-topik aktual yang berkembang di masyarakat menjadi bagian dari ‘selingan’ minum kopi di Hona. Saya sedikit terkesima ketika mendapati beberapa pelanggan setia Hona telah membuat grup pada sebuah situs jejaring sosial yang ramai digunakan masyarakat. Sehingga bukan saja sebagai media komunikasi antar pelanggan namun juga menjadi ajang ‘kangen-kangenan’ buat eks-pelanggan di era terdahulu yang kini merantau di berbagai belahan dunia.

Tentu semua yang saat ini sudah terjadi sangat jauh dari visi Hona sendiri, perempuan paruh baya sederhana si pemilik warung. Dia bahkan tidak pernah peduli dengan apapun yang dilakukan dengan para pelanggan setianya. Hona masih tetap ‘orang kampung’ yang bersahaja dan melayani pelanggan kopinya seperti apa yang biasa dilakukannya selama duapuluhtahun. Masih tetap yang cerewet dan kerap asal hitung. Dia tak pernah tahu internet dan tak pernah tahu bahwa warungnya kini telah menjadi satu simbol sosial. Dia hanya perlu tahu, warungnya masih laku -dan makin ramai-.. itu saja. sonny t atmosentono © 2009

Komentar

Postingan Populer