Bisnis Riang Odong-Odong


Suatu sore, di lapangan Monumen Diponegoro Tegalrejo Yogyakarta. Tampak anak-anak kecil riang mengerumuni ‘Odong-Odong’ yang kerap mangkal di sana. Dengan penuh keceriaan mereka asyik bermain menunggangi permainan sederhana tersebut. Beberapa lainnya dengan sabar antri menunggu giliran yang ditandai berakhirnya putaran satu dua lagu kanak-kanak yang diperdengarkan dari perangkat tape kecil. Dengan seribu perak untuk setiap satu kesempatan, anak-anak tadi dapat menikmati jasa ‘odong-odong’ -yang bergerak naik-turun mengasyikkan dengan tenaga kayuhan sang penarik-.

Beberapa minggu setelahnya, sepulang sholat Jum’at di sebuah masjid di Jakarta. Melalui lorong sempit di belakang gang Kemuning, bilangan Utan Kayu Selatan saya dapati kembai odong-odong serupa. Namun yang ini adalah belasan unit dan terparkir rapi di samping rumah petak yang menjadi kontrakan. Dari pak Umar, penghuni salah satu dari empat rumah petak itu saya ketahui bahwa disana merupakan pangkalan ‘odong-odong’. Dan Pak Umar sebagai pemiliknya telah empat tahun ini mengoperasikan duapuluhsatu odong-odong di ibukota.
Perantau dari Pemalang , Jawa Tengah ini menjadi ‘bos’ dari para penarik ‘odong-odong’yang kebanyakan juga orang-orang rantau dari daerah sekitar asal Pak Umar. Sembilan tahun lalu, Pak Umar hanyalah satu dari jutaan perantau di Jakarta. Tanpa bekal ijazah dan kemampuan memadai dia hanya mampu menjadi buruh bangunan pada proyek-proyek konstruksi. Namun empat tahun lalu, dengan jeli dia melihat peluang maka mencoba menjadi ‘tukang’ odong-odong.

Bila mulanya hanya sebagai ‘penarik’ yang menjalankan odong-odong milik salah seorang ‘bos’ dengan setoran perhari 10ribu rupiah. “Memang lebih kecil dari penghasilan kuli bangunan, yang sehari bisa dibayar sampai 20ribuan. Dari odong-odong, setelah dipotong setoran rata-rata dapat 10 sampai 20 ribu. Ini tergantung ramai atau tidaknya. Tapi kerja odong-odong mengasyikkan, setiap hari ketemu anak-anak kecil. Ini menghibur saya yang sering kangen anak-anak saya di kampung”. Dan pada sekitar tahun 2005-an, bermodal dari tabungan dan pinjaman dia membeli sendiri sebuah odong-odong miliknya. Dan ternyata baru berjalan tiga bulan, dia berhasil mengembalikan modal tersebut. Dari sinilah dia menemukan gagasan wirausahanya untuk beralih menjadi ‘bos’ odong-odong. Kembali dengan unag pinjaman, dia menambah ‘armada’ dengan empat odong-odong baru.

Pak Umar mengajak beberapa pemuda dari kampungnya untuk berprofesi sebagai penarik odong-odong. Mereka bergiliran menjalankan Odong-Odong milik Pak Umar. Ternyata bisnis ini demikian member hasil di Jakarta. Dua tahun berlalu, Pak Umar mengembangkannya dengan sepuluh odong-odong. Dan makin banyak ‘pelamar’ yang ingin menjadi anak buahnya. “Kebanyakan memang perantau dari sekitar Pemalang dan Banyumas. Karena harus tinggal dan menumpang di tempat saya maka saya putuskan pindah dari Plumpang ke Utan Kayu ini. Tempat lama sudah tidak muat lagi, jadi saya kontrak rumah petak ini. Lumayan mas, empat petak buat enam belas orang. Satu petak buat saya dan keluarga, sisanya buat anak-anak itu.” Para penarik odong-odong Pak Umar resminya berjumlah duapuluh tujuh orang, mereka bergiliran menjalankan odong-odong sebanya duapuluh satu unit itu. Namun kadang ada juga yang bersifat penarik lepas –istilah pak Umar ‘preman’- yang hanya sesekali menjalankannya.

Saya bayangkan, dengan modal sekitar 1 juta rupiah untuk satu unit odong-odong. Dan dengan setoran rata-rata 15ribu perhari. Seminggu enam hari beredar (pada hari Jumat Pak Umar meliburkan armadanya), maka dalam tiga bulan modal itu akan segera kembali. Sembilan bulan setelahnya, untuk satu tahun adalah keuntungan tahunan yang akan diterima. Nyaris mencapai tiga jutaan. Bila memiliki duapuluhan armada, maka tinggal kalikan saja angka tadi. Luar biasa…!!

“Yang terpenting, sekarang bagi saya membuka lapangan kerja buat orang lain dengan tidak repot menggaji. Mereka yang rajin dan peruntungannya bagus pasti akan memperoleh hasil yang lebih banyak”. Pungkas Pak Umar -si "Bos Odong-Odong- seraya melipat kain sarungnya sepulang Jum’atan pada siang itu. –© ST. Amosentono, 2010.

Komentar

Postingan Populer