Etos Manis Dawet Si Mbah


Mengantar istri belanja ke pasar, bukan masalah. Apalagi dilakukan pada hari libur saat kita tak disibukkan urusan-urusan kerjaan yang menyita. Terlebih lagi, bila aktifitas ini berkaitan dengan rencana untuk masak menu istimewa buat keluarga. Tapi kalau harus ikut ‘blusukan’ dari satu los ke los lain dalam pasar yang ramai (dan jelas) makan banyak waktu, rasanya tidak. Buat saya cukup untuk menunggu di los terluar dekat tempat parkir saja-lah.

Nah, di dekat pintu keluar pasar tadi saya berjumpa satu perempuan tua penjual dawet. Dengan ramah dan senantiasa penuh senyum si mbah ini melayani pembeli-pembelinya. “Kulo saking Sewon, pak..” (Saya dari Sewon, pak) demikian sahut si mbah saat saya tanya asalnya. Sewon adalah nama satu kecamatan di wilayah kabupaten Bantul, luar kota Yogyakarta. Sekitar 12 km selatan Yogyakarta arah menuju pantai Parangtritis.

Di sela singkat waktu menikmati semangkuk es dawet demi mengobati rasa dahaga saya, si mbah yang penuh senyum inipun berkisah bahwa berjualan dawet adalah pekerjaan yang telah dilakukannya hampir lebih dari setengah abad. Sejak masih gadis dia telah berjualan di pasar Beringharjo. Dahulu di ‘awal karir’nya dia harus berjalan kaki dari kampung di Sewon menuju Jogja. “Ya dulu kalo jalan ya rame-rame sama bakul lainnya”. Hal ini sering jadi anekdot di Jogja bahwa orang Sewon yang bakulan banyak yang wajahnya (maaf) belang sebelah kanan. Ini bisa muncul karena wajah yang sering terbakar sinar matahari pagi di sisi kanan wajah mereka saat berangkat ke pasar Beringharjo. Dan pulang saat jelang sore, lagi-lagi sengatan matahari di sisi barat akan membakar sisi kanan wajah mereka kembali. “Dulu itu kalo liat ada bakul di pasar sini yang mukanya gosong di kanan, ya pasti wong Sewon atau mBantul, hehehe..” canda si mbah sembari tertawa mempelihatkan gigi yang tak lengkap lagi jumlahnya.

Dalam sehari, tak kurang dari limapuluh mangkuk bisa dia jual. Dengan harga semangkuk dawet dua ribu perak maka setidaknya seratus ribu rupiah akan menjadi omzet hariannya. Setelah dipotong biaya belanja bahan-bahan baku dan kayu bakar, lantas ongkos transportasi serta beli makan siang di pasar maka keuntungan bersih yang bisa dikantongi saya pikir pasti bisa mencapai angka tiga puluh ribu-an. “Kadang buat ngirit, saya suka m’bawa bekal (makan) dari rumah. Rejeki sudah ada yang ngatur, kita ini cuma nrimo ing pandum saja” ujar si mbah menjelaskan.

Dalam usia senjanya yang menjelang tujuhpuluh tahun itu, si mbah masih juga produktif. Bekerja dan mandiri dengan memaksimalkan segenap sisa kemampuan yang ada. Di saat anak dan cucunya sudah pada dewasa dan berumah tangga, dia memilih untuk tetap hidup sendiri. “Saya ndak mau ngrepoti anak-anak.. lha wong mereka juga sudah punya keluarga sendiri, to. Saya kan cuma sendirian, jadi ya ndak papa kalo cari makan sendiri..” Ini menyadarkan saya betapa banyak anak muda yang masih sehat kuat dan segar bugar yang masih menganggur dan tanpa pekerjaan. Tidak sedikit pula yang justru punya ijazah dan gelar mentereng masih hidup bergantung pada orang tua atau keluarganya. Ini jelas kontradiktif dengan jalan kehidupan yang dilalui si mbah penjual dawet di pasar Beringharjo ini. Saya rasa tak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Di pasar Beringharjo, masih banyak manula semacam si mbah ini. Tetap berikhtiar dan produktif di usia senja, menjaga semangat hidup dan etos yang mengagumkan dengan senantiasa menyerahkan ‘hasil akhir’ pada kuasa sang pencipta.

“Nami kulo mbah Hari..” jawabnya saat saya menanyakan nama dan mengakhiri percakapan seraya membayar semangkuk dawet yang telah tandas. Di antara kerutan wajah tua penuh kepasrahan itu, selalu terhias senyuman yang manis, semanis gula merah dalam semangkuk dawet bikinannya (sonny t atmosentono ©2010).

Komentar

Postingan Populer