Pemimpin dan Nasi Bungkus


Di perempatan Nol Kilometer depan kantor pos kota Yogyakarta kali ini terlihat satu pemandangan unik. Yakni sebuah sculpture berbentuk Nasi Bungkus. Dengan ukurannya yang cukup besar, nasi bungkus ini tentu akan menjadi perhatian banyak orang yang berlalu-lalang sepanjang trotoar dari Malioboro menuju Kraton.

Sekelompok seniman membuatnya sebagai suatu karya instalasi di ruang publik untuk menyampaikan pesan mengenai semangat kebersamaan rakyat Yogyakarta. “Nasi bungkus merupakan semangat kegotongroyongan dan kebersamaan dari berbagai kalangan masyarakat, termasuk wong cilik. Ini adalah spirit Keistimewaan Yogyakarta," demikian ungkap Koordiantor Komunitas Seniman Yogyakarta Ong Hari Wahyu. Si pembuat nasi bungkus raksasa, Budi Ugruk, mengatakan, pembuatan nasi bungkus raksasa itu membutuhkan waktu 20 hari. "Kira-kira membutuhkan 11 potong seng. Seng itu dilem lalu dibuat seperti layaknya bungkusan nasi yang besar. Kemasan mirip seperti nasi bungkus dengan bungkusan koran. Nasi bungkus itu banyak dijumpai di angkringan-angkringan di Yogyakarta," jelasnya.

Simbol unik yang juga menggambarkan kebersahajaan ini dihiasi dengan lukisan potret beberapa tokoh Yogyakarta. Antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Herry Zudianto, walikota Yogyakarta. Tentu ini bukan bentuk narsisme atau pengkultusan yang berlebihan. Mengingat di mata para penggagasnya, tokoh-tokoh yang terpampang tersebut jelas-jelas mewakili kepemimpinan yang demikian terlegitimasi di mata rakyat. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang sangat dekat dan lekat dengan kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin yang tidak perlu mengumbar deretan keberhasilan dalam kertas dan angka-angka karena rakyat yang akan merasakan dan menilai sendiri setiap keberhasilan yang dicapai kepemimpinanya. Mereka akan selalu hadir ditengah rakyatnya bahkan disaat musibah mendera dan mereka pantang berkeluh-kesah demi membangkitkan semangat rakyat untuk tetap tegar menghadapi berbagai ujian. Dan semua ini bukan omong kosong bila menjumpai kenyataan di lapangan betapa rakyat sangat mencintai mereka sepenuh hati.

Nasi bungkus itu dipajang di ruang publik selama enam bulan, lalu diganti dengan yang baru dengan ukuran yang sama. Nasi bungkus raksasa itu sengaja dipajang di ruang publik, agar semangat kebersamaan dan kegotongroyongan akan terus berada di dalam jiwa masyarakat Yogyakarta. Jadi potret-potret inil adalah simbol kepemimpinan yang dapat menginspirasi rakyat untuk tetap kompak bersatu-hati, mengembangkan semangat kebersamaan dan ini tentu saja jauh dari tujuan dangkal untuk sekadar kampanye pencitraan dan pengkultusan yang demonstratif.

Setidaknya dari usaha kreatif seniman-seniman Jogja itu, kita dapat menarik sedikit kesimpulan tentang apa dan siapa soal kepemimpinan sejati yang dibutuhkan oleh rakyat. Bila sang pemimpin diterima dan dicintai oleh rakyatnya, maka tak perlu repot-repot cari cara mempropagandakan pencitraan. Bahkan tak jarang memaksakan gagasan pengkultusan yang alih-alih menjadikannya disenangi, malah bisa jadi ‘rerasan’ nyinyir yang melihatnya. ©STA-2011

Komentar

Postingan Populer