Penjual Romantisme Sejarah




Berjalan menyusur jalur Puncak, sepanjang jalur Tugu – Cipayung – Gadog tampak sekitar 50an toko barang antik. Mulai dari patung Dewa Kwan Kong berbahan perunggu, lampu gantung, guci kuno buatan China, sampai meriam sundut berdiameter 10x45 cm, peninggalan kompeni belanda dan tentara portugis. “Meriam sundut peninggalan VOC itu tadinya ada dua, namun sudah laku satu,” ungkap Ajat, salah satu penjual barang antik tadi.

Hampir semua toko barang antik di jalur Puncak, selain menjual barang antik, juga menjual benda-benda repro atau bahkan barang baru dengan bentuk mirip benda antik. Biasanya barang antik berbahan logam, terbuat perunggu, tetapi tiruannya berbahan besi biasa atau dari kuningan. “Harga barang repro bisa 2-3 kali lebih murah daripada barang antik, bahkan bisa 100 kali lebih murah,” jelas Ajat lagi. Barang antik bisa mahal lantaran nilai sejarah yang melekat pada bendanya. Contohnya satu repro patung perunggu Kwan Kong di atas kuda perangnya, disini dibanderol 6,5 juta rupiah. “Tetapi benda antiknya yang berbahan perunggu bisa dilepas 25 juta-an rupiah,” ujarnya. Contoh lainnya seperti replika lampu gantung berhias kristal yang ‘hanya’ dijual 17,5 juta rupiah, yang aslinya dari Itali mungkin harganya bisa sampai ratusan juta.
Ada pula sebuah tongkat komando yang di pangkal tongkat tersebut terukir lambang Kesatuan Komando Daerah Militer IV Diponegoro serta angka tahun 1961. Bisa jadi milik salah seorang mantan Pangdam IV Diponegoro. (Tebak saja siapa pemegang tongkat komando di tahun tersebut). “Harganya cuma 300 ribuan,” kata satu penjual lainnya. Namun saya pikir-pikir, bagaimana mungkin seorang Pangdam sampai bisa kelepasan tongkat komandonya hingga ke sini ?

Seperti halnya di komplek pertokoan barang antik –yang konon- tertua di Jalan Surabaya, Jakarta, maka antara satu toko dengan toko yang lain relatif menjual barang-barang yang mirip dan nyaris serupa. Bahkan bukan tak mungkin merekapun dipasok dari produsen barang-barang repro yang sama. Meski demikian, bagi orang awam pasti sedikit susah membedakan antara asli antik atau repronya. Kecuali satu hal yang sederhana bagi saya, semakin banyak stok-nya maka pastilah yang dibikin ‘mass-product‘ dan layak dipertanyakan ‘keantikan-nya’.

Terlepas dari asli atau bukan, saya justru melihat sisi positif dari para duplikator atau replikator pembuatnya. Mereka pasti berusaha dengan keras agar dapat membuat semirip aslinya, dan untuk itu perlu pengetahuan yang cukup baik soal barang-barang yang akan dibuat reproduksinya. Hal yang sama-pun akan berlaku bagi para pedagang tadi. Mereka akan berburu menambah wawasan yang luas soal sejarah terkait barang-barang dagangannya demi meyakinkan calon konsumennya. Ini artinya ada proses edukasi yang lumayan-lah bagi mereka.

Dan yang jelas, pasar ini ada karena adanya permintaan. Para kolektor dan pemburu barang antik, baik yang sudah ahli maupun para pemula -yang latah ikut-ikutan- pastilah punya masing-masing alasan untuk membeli barang-barang tadi. Selain karena faktor pertimbangan investasi, semua barang ‘sisa sejarah’ tadi punya nilai karena manusia tak bisa lepas dari keterikatan dengan sejarah dan masa lalu. Sehingga sesederhana apapun setiap artefak akan menorehkan romantisme historik bagi perjalanan peradaban umat. Sejauh masih dalam koridor ‘halal’ dan ‘legal’..maka sah-sah saja bila hal itu dikomoditaskan oleh sebagian orang buat sandaran nafkahnya. Seperti Ajat dan kawan-kawan pedagang barang antik lainnya di jalur Puncak tadi © STA-2011.

Komentar

Postingan Populer