Negeri Jiran-ku...


Hotel Station, Kuala Lumpur, 16 Agustus 1945. Datuk Jaafar sudah membulatkan tekad. Di hadapannya, petinggi militer Jepang tengah menyodorkan dua opsi: Malaysia merdeka atau bergabung dengan Indonesia—yang baru keesokan harinya memproklamasikan diri. (Menurut Chin Peng dalam My Side History yang resensinya dimuat Kompas, 20 Maret 2004). Datuk Jaafar dan kawan-kawannya yang hadir pada pertemuan hari itu memilih bergabung dengan Indonesia. Kok bisa? Menurut Peng, inilah satu-satunya cara agar pasukan pendudukan Jepang tidak menggabungkan mereka dengan China. "Proses penggabungan Malaya ke Indonesia baru saja akan diresmikan, ketika mendadak terdengar berita dari radio, Kaisar Hirohito menyerah kepada Sekutu. Mendengar hal ini, seluruh peserta pertemuan langsung bubar…" tulis Ian Ward dan Norma Miraflor yang merekam kesaksian Peng.
Ceritanya lalu menjadi lain. Malaysia menjadi negara merdeka pada 31 Agustus 1957 setelah Inggris -yang menerimanya dari Jepang- merestui kemerdekaan itu. Tunku Abdul Rahman menggelorakan darah 50.000 orang di Bandar Hilir dan mengumumkan kemerdekaan. Tapi kemerdekaan yang terkesan hibah dari London ini membuat Bung Karno tak enak hati. Apalagi bentuk federasi Malaysia terkepak hingga Sarawak yang berbatasan langsung dengan Borneo. Keresahan Soekarno memuncak saat meletusnya pemberontakan di Brunei pada Desember 1962. Adalah AM Azahari, Ketua Partai Rakyat, partai terbesar di wilayah itu, yang berniat membentuk negara merdeka Kalimantan Utara, yang meliputi wilayah bekas jajahan Inggris. Gagasan ini membangkitkan kecurigaan Soekarno terhadap federasi Malaysia dan membuatnya serasa dikepung kekuatan neokolonialisme pro-kapitalisme (blok Barat). (Artikel selengkapnya bisa lihat di : http://www.forum.achehtimes.com/malay/_disc/00000015.htm).
Setelah usai konfrontasi RI-Malaysia, keterbatasan SDM Negara Diraja Malaysia merupakan masalah lain yang kemudian muncul. Mengutip testimoni Des Alwi dalam salah satu edisi tayang Secret Operation di Metro TV : “Saat itu, Malaysia tidak punya pilot lokal, hampir semuanya orang asing. Ini rupanya lantaran anak-anak Malaysia tidak bisa Matematika. Sehingga mereka minta kita mengirimkan ribuan guru Matematika untuk memperbaiki pendidikan di Malaysia”. Buruknya kurikulum pendidikan di Negara itu masih terasa hingga era 70-an. Ketika banyak yang tenaga pendidik (termasik dosen) yang menimba ilmu di tanah air RI.
Persoalan politik dalam negeri mereka (yang otomatis berpengaruh dan dipengaruhi soal sosial-ekonomi) juga merupakan hal lain lagi yang menunjukkan besarnya kontribusi RI dalam mengatasi permasalahan tersebut. Pasca merdeka hingga usai era konfrontasi, dominasi etnis China dan India menyebabkan etnis Melayu termarjinalkan. Oleh sebab itu petinggi UMNO meminta bantuan Soeharto –demi alasan kesepahaman dan persamaan sentimen etnis serumpun- untuk ‘memenangkan’ UMNO. Lantas lewat suatu Operasi Intelejen Tertutup dikirimkan banyak WNI ke Malaysia untuk ‘menyokong’ pemenangan UMNO. Tanpa adanya langkah ini, maka Malaysia yang ambang konflik yang sangat serius akibat pertikaian antar etnis niscaya akan mengalami problem disintegrasi nasional yang hebat. (Kesaksian Pitut Soeharto, salah satu tokoh Intelejen dan pelaku sejarah dalam sebuah edisi tayang Secret Operation di Metro TV).
Setelah UMNO menguasai pemerintahan, produk politik yang kemudian dibuat adalah mengangkat posisi etnis Melayu. Termasuk secara ekonomi yang mendorong etnis Melayu di sana berduyun-duyun memasuki dan menguasai sektor-sektor usaha dan bisnis. Dalam hal ini, Prof. Soemitro Djojohadikusumo –Begawan Ekonomi dari RI- yang banyak membantu dengan menyusun Grand Design pembangunan perekonomian di Malaysia. Dampak dari kebijakan ini adalah, kosongnya sektor-sektor informal dan minimnya tenaga kerja (kasar) untuk merealisasikan ‘lompatan pembangunan fisik’ di Malaysia. Orang Melayu (tentu saja) lebih suka menjadi Pengusaha (yang difasilitasi pemerintahnya) atau menjadi Pejabat. Sekali lagi, WNI dikerahkan ke Malaysia. Menurut Pitut Soeharto, motivasi semua langkah ini awalnya semata-mata memberikan bantuan dengan prinsip kesetaraan dan semangat persaudaraan serumpun.
Dan kini, setelah Malaysia tumbuh dan berkembang menjadi Negara yang kaya raya sementara RI dirundung persoalan-persoalan yang membuatnya jauh tertinggal dari ‘saudara serumpun’-nya. Ribuan WNI sebagai TKI di sana masih bergelut dengan banyak masalah, dan kedaulatan wilayah RI seolah dipandang sebelah-mata. Jika ingat kasus Sipadan-Ligitan yang lepas itu, bukan tidak mungkin ini menginspirasi mereka bahwa ‘buka hal sulit’ untuk mengambil alih Ambalat (yang konon kaya minyak) dan (mungkin saja) wilayah perbatasan lainnya dari hak milik NKRI. Baik secara fisik (saat militer kita kini begitu lemah dengan alutsista yang ‘sekadarnya’) maupun secara legal dan diplomatik. Dan sungguh ironis menerawang sederet lintasan sejarah RI-Malaysia yang telah terjadi, thus apabila sekarang mendengar dan menyaksikan suatu adagium yang berkembang luas di masyarakat negeri jiran itu bahwa, “Indon, bangsa sahaya..”. (duh..!!).
Semua sejarah adalah keniscayaan yang dilalui dan harus diambil sebagai pelajaran. Bukan semata menjadi romantisme nostalgia belaka. Maka sebelumnya, mari lihat diri kita sendiri…kenapa semua ini bisa terjadi, lantas renungkan : “Bagaimana kita sekarang harus menterjemahkan nilai Kedaulatan NKRI dan Martabat sebagai bangsa ?” (Ditulis : di Akhir paruh pertama tahun 2009 : Pada saat Krisis Ambalat meruncing kembali, dan merebak-meruyak kasus TKW/TKI yang (makin banyak terekspos) bernasib malang di negeri jiran).
@atmosentono 2009

Komentar

Postingan Populer