Pulogadung 1994


Selepas lulus dari Teknik Sipil ITS di tahun 1994, segera saya memperoleh panggilan untuk bekerja pada salah satu perusahaan konstruksi di Jakarta, ini juga atas jasa baik salah satu sahabat kuliah yang telah terlebih dahulu bekerja di perusahaan itu. Darinya, saya juga memperoleh 'bocoran' informasi tentang berapa 'upah' yang natinya saya dapat dari perusahaan tersebut. Pada awalnya saya pikir untuk memulai pengalaman baru, berapapun yang didapat (secara materi) bukan masalah.. sayapun berangkat meninggalkan Jawa Timur menuju Ibu Kota.

Dalam perjalanan (menggunakan bis ekonomi) saya malah jadi banyak merenung.. apakah cukup untuk 'hidup' di kota besar dengan upah 'segitu' ? Saya bayangkan, dengan penghasilan 'jauh' di bawah UMR dan biaya hidup yang konon cukup tinggi di Jakarta maka saya akan menjumpai situasi yang cukup berat untuk dijalani. Saya mulai ragu.. namun apa lacur, saya sudah berangkat dan tantangan itu mesti dihadapi..

Pagi di teminal Pulogadung, Jakarta. Turun dari bis.. agak shock menjumpai suasana yang sangat kurang bersahabat. Sejumlah calo dan preman terminal membuat sedikit saya grogi. Maklum, pendatang dari daerah adalah 'target empuk' buat aksi-aksi mereka.. Sekali lagi keraguan saya makin besar, nyali menghadapi tantangan 'kerasnya Ibukota' menciut.

Di tengah kegalauan, saat keluar dari ponten (toilet).. seseorang datang menghampiri. Seorang pengemis tua yang (maaf) buta, dituntun seorang anak kecil (seusia kira-kira 7 atau 8 tahunan) meminta-minta mengharap belas kasihan saya demi sedikit rupiah amal saya. Wajah tuanya tampak luyu, dengan garis-garis keriput yang menegaskan pergulatan hidup yang keras. Namun, saya juga lihat kekuatan bathin dari genggaman tangannya pada tangan kecil si anak kecil. Sebentuk rasa sayang dan tanggung jawab pada 'hidup' mereka. Dari logatnya, saya pikir di juga pendatang dari daerah sebagaimana saya.

Penjaga ponten menghardik agar si pengemis menjauh dari 'teritorial'-pontennya.. Luar biasa, tanpa sedikitpun tampak rasa tersinggung atau jengkel diapun menjauh dan seolah memaklumi posisinya yang 'hanya' peminta-minta (yang sebagian menilai sebagai 'penyakit masyarakat' dan 'pengganggu' orang lain). Semua berjalan seperti dalam film yang diputar 'slow motion' sehingga setiap detail dapat saya saksikan dan (bahkan) terekam kuat dalam memori saya.

Saya kejar pengemis tua-buta itu, dan selembar rupiah -dari beberapa lembar bekal saya yang juga pas-pasan- saya berikan padanya. Spontan disambut dengan rentetan doa dari mulutnya.. semoga Allah memberi kelapangan rizki, kemudahan jalan, dan keselamatan pada diri saya, semoga Allah membalas setiap kebaikan dengan kebaikan pula, semoga ini..semoga itu...panjang sekali. MasyaAllah.. sepagi ini, saya sudah dapat hadiah do'a -yang konon mustajab- dari orang kecil yang -Wallahu'alam- teraniaya/tertindas ini.

Setelahnya saya menepi dan berpikir lagi... Ya Allah, inikah jawaban atas semua keraguan saya ? Bila seorang yang -secara umur duniawi- sudah Tua, yang (memiliki) cacat fisik, yang -sangat mungkin- tak berpendidikan (formal) dan -otomatis- tak punya ijazah, tak punya keahlian (skill), bahkan punya beban tanggungjawab menghidupi keluarga (atau setidaknya orang lain yang menggantungkan hidupnya) padanya, dan diapun sama seperti saya..pendatang di Ibukota : BERANI hidup di Ibukota..untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan yang keras. Maka... kenapa saya yang (justru) : Masih muda dan kuat, sehat jasmani-rohani (tidak punya cacat fisik), punya ijazah dan kemampuan (skill), juga sama-sama pendatang, dan bahkan (saat itu) tidak dalam situasi "menghidupi" orang lain : Harus TAKUT menjalani 'tantangan' hidup yang di depan mata ?

Sebuah jawaban, sebentuk pelajaran.. hikmah dari perjalanan hidup, mungkin pula "isyarat langit" (Analoginya, sebagaimana suatu rambu petunjuk lalu lintas yang mengarahkan jalan kita di suatu persimpangan atau kala dalam kebingungan menentukan arah). Memberi saya ilham dan kekuatan serta keyakinan. Saya pasti MAMPU menghadapi tantangan ini ! Peristiwa tersebut kini senantiasa jadi inspirasi bagi saya, untuk selalu optimis menghadapi situsi apapun untuk mengembalikannya pada kesadaran akan kemampuan diri sendiri.

Pelajaran hidup, bisa datang kapanpun..dimanapun..dari siapapun..dan apapun bentuknya. Tinggal bagaimana kita dapat 'menajamkan rasa' serta menjaga 'kepekaan jiwa' untuk dapat senantiasa "waskita" menerima setiap "Message" tersebut. SubhanAllah..

SONNY

Komentar

Postingan Populer