Menggusur Ngasem dengan Indahnya


Hari yang cerah pada satu siang di bulan April. Serombongan orang dengan pakaian adat Jawa tampak sibuk mengemasi barang-barang dagangan dan menaikkannya ke atas deretan andong dan gerobak yang sudah berjejer rapi di tepi jalan. Setelah dibuka dengan sejumlah atraksi kesenian maka rombongan tersebut perlahan berjalan bersama dalam barisan kirab yang semarak. Sambutan meriah masyarakat sepanjang 3 kilometer perjalanan yang dilalui menandai proses kepindahan itu. Ini bukan sembarang pawai atau kirab, namun suatu prosesi budaya dipindahnya sekitar 287 pedagang dari pasar burung dan hewan dari Pasar Ngasem ke tempat baru mereka di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTY) di Dongkelan.

Pasar Ngasem yang telah berusia tak kurang dari 200 tahun (dijumpai sebuah foto dokumentasi Pasar Ngasem berangka tahun 1809) tersebut sebelumnya merupakan salah satu landmark kota Yogyakarta yang sangat terkenal. Terletak di sekitar kompleks wisata Kraton dan Taman Sari menjadikannya sebagai tujuan wisata yang ramai dikunjungi. Dan tentu saja menjadi sumber nafkah bagi banyak orang. Tak hanya bagi pedagang burung dan satwa atau pakan unggas dan kurungannya, tapi juga bagi banyak pedagang makanan, warung angkringan, tukang andong, becak dan juru parkir yang mangkal di pasar tersebut.

Ketika wajah kota sudah harus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan tuntutan pembangunannya, maka pasar yang telah melegenda itu harus siap menghadapi tuntutan jaman. Sebuah pasar yang baru yang lebih layak dan representatif kini tersedia bagi mereka. Pekerjaan membangun secara fisik tentu tak sulit bagi kota yang memiliki cukup anggaran untuk hal itu, namun memberikan pemahaman pentingnya relokasi tadi bagi mereka yang telah memperoleh kemapanan memperoleh nafkah di Ngasem untuk serta merta dengan ikhlas menerima perubahan pasti bukan hal yang mudah.

Pendekatan persuasif secara kultural -sebagaimana sangat kental menjadi bagian kehidupan dan keseharian masyarakat Jogja- merupakan solusi ampuh untuk membangun kesepahaman dan dukungan moral dalam setiap langkah yang dilakukan untuk hal tadi. Hasilnya, seluruh lapisan masyarakat mendukung upaya relokasi itu. Riak-riak penolakan memang sempat ada, namun segalanya dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana. Seperti halnya pada tahun 2007 ketika pasar klitikan (barang bekas/loak) yang dulu berderet sepanjang trotoar Jalan Mangkubumi, Jalan Asemgede dan Alun-Alun Kidul Kraton untuk kemudian dilokalisir ke Pasar Klitikan Pakuncen dapat berjalan dengan proses yang cukup mulus. Maka jadilah, kepindahan tersebut sebagai prosesi budaya yang meriah dan penuh suka cita. Bahkan menjadi satu event istimewa bagi sejumlah wisatawan untuk menjadi saksi sejarah atas peristiwa yang jarang ada itu.

Entah apakah hal yang sama itu dapat diterapkan di tempat yang lain ? Sebab, setiap proses relokasi yang melibatkan kepentingan publik –apalagi bersifat multi dimensional, seperti halnya pada sebuah pasar- selalu diwarnai ketegangan dan pertentangan sengit banyak pihak. Tak jarang timbul kekerasan dan bentrok fisik yang mengakibatkan banyak korban. Setelahnya, pihak-pihak tadi akan saling tuding dan mencari kambing hitam dari kekacauan yang telah terjadi. Sementara akar masalahnya jadi makin tak jelas ujung dan pangkal.

Sungguh indah suasana sepanjang Ngasem hingga Dongkelan siang itu. Tak ada wajah-wajah marah dan aksi amuk yang membara, yang ada wajah sumringah dan penuh tawa. Tak ada bulldozer yang garang menghantam kesana-kemari, yang ada andong dan gerobak hias penuh warna. Dan yang jelas, tak ada SATPOL Pamong Praja berseragam dinas yang galak menenteng pentungan, sebab siang itu baik pedagang maupun petugas aparat pemerintah yang hadir semua berbusana surjan, beskap dan berkebaya yang anggun dan penuh pesona. © sonny atmosentono.

Komentar

Postingan Populer