Ratu Madura


Sejenak menyimak sejarah Madura, ternyata membuka wawasan bahwa tak selalu hegemoni kaum adam mengemuka bagi etnis yang sangat dikenal patriarkis ini. Sumenep sebagai suatu kerajaan yang berdiri di ujung timur pulau tersebut pernah dipimpin oleh seorang wanita. Tepatnya adalah Ratu Raden Ayu Tirtonegoro (1750-1762).

Satu-satunya Ratu yang pernah berkuasa di Madura ini bahkan meninggalkan catatan sejarah penting yang kemudian menentukan perjalanan Sumenep (dan Madura) sebagai sebuah kerajaan yang cukup disegani pada masa itu. Raden Ayu Tirtonegoro, merupakan putri dari Tumenggung Tirtonegoro, penguasa Sumenep pasca pemberontakan Ke’ Lesap (1749-1750) yang melegenda dengan serangkaian penaklukan wilayah-wilayah Madura dari ujung timur hingga ke barat. Sebagai seorang wanita, awalnya bagi Sang Ratu tak mudah untuk memerintah sebuah kerajaan, Raden Ayu Tirtonegoro –apalagi, ketika itu belum menikah- jelas menghadapi tantangan dalam pemerintahannya. Terlebih dengan adanya budaya patriarkis yang masih kuat berkembang di masyarakat.

Sang Ratu berikhtiar dan bermunajat pada Allah, hingga kemudian memperoleh petunjuk untuk segera menikah. Pada sebuah isyarah dalam satu mimpinya, dikatakan bahwa seorang lelaki dengan ilmu agama yang mumpuni dan jelas berakhlak mulia akan menjadi suami yang tepat baginya untuk mendampingi menjalankan pemerintahan Sumenep. Lelaki tersebut adalah keturunan Pangeran Katandur (pensyiar Islam cucu Sunan Kudus, yang dikenal sebagai peletak dasar-dasar ilmu pertanian sekaligus penggagas budaya Karapan Sapi yang kini sangat dikenal sebagai ikon budaya Madura) bernama Bendoro Saud (Bindara Saud).

Bindoro Saud, ulama yang tinggal Batu Ampar tersebut rupanya telah berkeluarga. Dari sang isteri bernama Nyai Izza, Bendoro Saud memiliki dua putra yakni Ario Pacinan & Ario Sumolo. Dengan demikian pernikahan poligami yang terjadi membuat keluarga mereka kemudian diboyong ke istana. Sang Ratu yang sangat menyayangi putra-putra tirinya, bahkan mempersiapkan salah satu dari mereka sebagai putera mahkota.

Pada masa pemerintahannya, Raden Ayu Tirtonegoro dikenang dengan penyelesaian sejumlah pertikaian dan pemberontakan di kalangan elit keluarga kerajaan yang sempat dipimpin mantan Patih Purwonegoro. Selanjutnya mengakibatkan muncul kebijakan bahwa seluruh keturunan Tirtonegoro wajib menanggalkan gelar kebangsawanannya dan menggantinya dengan sebutan Kyai -yang lebih egaliter-, dan sistem pemerintahan digariskan dalam syariat Islam yang kuat.

Raden Ayu Tirtonegoro, sang ratu pertama dan satu-satunya di Madura tersebut tidak saja dikenang karena telah menerobos kultur dominasi hegemoni kaum pria, namun juga karena dengan cerdas dan berani membuat kebijakan untuk menanggalkan sejumlah atribut feodal keningratan –yang senantiasa sarat intrik kepentingan- serta membuka ruang kesetaraan legitimasi religius sebagai sebuah kesatuan simbol ulama dan umara pada dirinya dan sang suami. Sejarah lantas mencatat bahwa dia adalah (justru) pewaris terakhir darah biru bangsawan Sumenep, sebab penerus tahta kemudian adalah dari garis ketokohan pensyiar Islam yaitu putra kedua Bendoro Saud, Panembahan Ario Semolo. Boleh jadi, hal ini salah satu sebab betapa Madura kini memiliki budaya Islam yang demikian kuat dan berakar. ©sonny atmosentono-2010.

Komentar

Postingan Populer