Beriman dengan Syukur


Jam di dinding menunjukkan pukul 21.15 waktu Jakarta. Kami baru saja mengakhiri pertemuan yang sangat melelahkan sejak siang tadi. Yang bagi kawan saya akan terasa lebih melelahkan lagi bila mengingat betapa pertemuan ini tak menghasilkan sesuatu yang diharapkan sebelumnya. Ini soal pekerjaan yang buat dia cukup penting dan besar, dan tentu saja akan melibatkan nilai rupiah yang tak sedikit. Nah, di poin terakhir inilah yang membuat sedikit gusar kawan saya tadi. Sehingga ruang pertemuan yang berpendingin udara seolah tak mampu mengusir gerah dan peluh yang tampak merembes di keningnya.

Hari itu saya diundang kawan saya tadi untuk menemaninya bernegosiasi dengan calon rekanan kerjanya. Seusai sedikit berbasa-basi dengan membuat janji untuk pertemuan berikutnya, kami berdua segera meninggalkan ruangannya yang berada di lantai enam sebuah gedung bertingkat. Saat menyusuri lorong menuju lift untuk mengantar saya pulang, dari jendela gedung kami melihat di kejauhan beberapa pedagang kaki lima mangkal dengan bersahaja dibawah cahaya lampu penerangan kota.

“Enak ya jadi mereka.. tak perlu bersitegang urat leher dan stress berhari-hari demi pekerjaan yang belum tentu jelas untung ruginya seperti kita” celetuk kawan saya. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Mungkin karena perut yang mulai terasa lapar membuat saya tak bernafsu membahas komentar tersebut. Kami pun berpisah di teras lobby. Dan saya yang kelaparan memilih menyeberang menuju tempat dimana para pedagang makanan kaki lima tadi berjualan.

Setelah memesan sepiring ketoprak dan sebotol teh dingin, perlahan saya merasakan otak yang letih tadi mulai rileks.
“Mas kerja di gedung itu ?” tanya si abang penjual ketoprak pada saya.
“Nggak, saya cuma tamu kok” sahut saya, “Emangnya kenapa, bang ?” tanya saya balik.
Sambil memandang penuh kagum pada gedung bertingkat yang gagah berdiri di depan kami, yang lampu-lampu di beberapa ruangannya menyala menandakan masih adanya kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Si abang berujar dengan polosnya seperti bukan berkata-kata pada saya, melainkan lebih pada dirinya sendiri, “Enak kali ya jadi orang kantoran..kerja di gedung mentereng, gajinya pasti gede..”


Spontan saya tersedak.. sayapun buru-buru minum demi membantu tenggorokan yang kemasukan beberapa helai sohun dan bumbu kacang. Meski tidak sama persis, namun inti kalimat tersebut nyaris serupa dengan apa yang saya dengar tak lebih dari tigapuluh menit sebelumnya. Dua orang yang berbeda tempat, saling memandang dan menilai dengan ukurannya masing-masing. Dan ajaib, resultansinya kok sama.!!

Bahwa kita senantiasa merasa melihat melulu sisi ‘enak’ orang lain. Merasa bahwa orang lebih beruntung atas apa yang dicapai ketika kita merasakan sisi ‘tak enak’ yang harus kita sandang. Lebih celaka lagi, kalau kita malah memberi vonis ‘sial’ pada peruntungan yang kita anggap buruk yang saat itu kita terima. Padahal, apa yang kita lihat, kita pikir dan kita duga tersebut belum tentu apa yang sebenarnya terjadi dan dirasakan pada orang lain yang kita nilai tadi. Dus, begitu pula sebaliknya. Wah.. hal ini seperti kalimat bijak yang sering terucap di kampung halaman saya.. “Kalau terus sawang-sinawang (saling memandang dan menilai oran lain), enak itu akan ada di orang..”

Alangkah indahnya, bila kita justru mensyukuri apa yang kita peroleh saat ini atau tak lantas mengutuk nasib yang dialami. Kitalah seharusnya pihak yang pertama kali wajib merasakan rasa syukur dan nikmat tadi, bukan orang lain yang memandang kita. Dan bukankah, mempercayai akan semua ketentuan dan kadarnya atas yang telah kita dapatkan adalah bagian dari komitmen keyakinan spiritual.. yang kita sebut sebagai iman ?? ©STA.2010

Komentar

Postingan Populer