PARA PEMBACA TANDA JAMAN


Membaca Tanda Jaman, membaca kejadian dan fenomena yang terjadi di muka bumi dalam setiap kurun waktu dan masa yang beredar. Dari setiap tanda jaman ini, dapat diperoleh realitas-realitas yang ditangkap sebagai suatu gejala dan disimpulkan sebagai materi peramalan yang mungkin bisa terjadi di masa depan. Beberapa ‘peramal’ dikenal dengan akurasinya. Meskipun mereka menuliskannya sebagai suatu karya sastra, namun temuan kejadian yang dijumpai di kemudian hari membuat mereka dikenal sebagai ‘futurolog’ dan peramal yang sohor.

Nostradamus
Nostradamus (1503–1566) adalah nama Latin dari Michel de Nostredame, yang merupakan pengarang ramalan ternama di dunia. Nostradamus terkenal dengan hasil karyanya berjudul Les Propheties yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1555, dan telah dicetak ulang selama lebih dari 400 tahun.


Ini mungkin terasa mengejutkan, tetapi kata “Nostradamus” adalah salah satu nama yang paling dicari di Internet -bahkan lebih populer dibanding Osama Bin Laden atau Madonna-. Terutama tentang apa yang ingin diketahui orang-orang di abad 21 tentang Nostradamus dan ramalannya. Nostradamus, 400 tahun lalu dalam bukunya telah menuliskan secara simbolik tentang terjadinya Perang Dunia I, Perang Dunia II, Revolusi Perancis, Revolusi Bolshevik, Revolusi Amerika, Berdirinya Uni Sovyet dan kehancurannya, Berdirinya Israel dan kehancurannya, Munculnya Napoleon, Hittler, Mussolini, komunis internasional, kehancuran Hiroshima – Nagasaki oleh bom atom, mendaratnya manusia di bulan, meledaknya pesawat ulang alik, berbagai bencana alam dunia, perpecahan katolik, kontak dengan mahluk angkasa, sampai dengan terjadinya perang dunia III, perang akhir zaman – Armageddon.


Peneliti Sejarah, ahli yang paling terkemuka dalam mengkaji karya Michel de Nostredame di Rusia, Alexey Penzensky, mengatakan bahwa selama lebih dari 400 tahun penelitian resmi tidak menunjukkan perhatian apa pun terhadap karya-karya Nostradamus selain sebatas sebagai leterasi peramalan suatu keajadian. Meski demikian ada sedikit ahli yang peneliti telah melakukan studi ilmiah terhadap hasil karya Nostradamus sejak dahulu, bahkan sebelum Revolusi Perancis. Baru-baru ini, para peneliti yang mempelajari karya-karya Nostradamus menemukan beberapa penerbitan tanpa nama pada sebuah majalah Perancis dimana ramalan-ramalan Nostradamus ditelaah dalam konteks jaman dan kebudayaan dimana ramalan-ramalan tersebut dibuat dengan tidak berhubungan dengan masa depan. Jadi apakah maksud utama dari ramalan-ramalan Nostradamus? Banyak peneliti telah mengambil suatu kesimpulan bahwa Nostradamus ingin menekankan bahwa sejarah akan berulang..


Namun hipotesa yang sungguh sangat mengejutkan tentang rahasia besar di balik ramalan Nostradamus datang dari seorang ilmuwan Timur Tengah. Hipotesa tersebut mengatakan, semua ketepatan ramalan Nostradamus pada dasarnya adalah karena Nostadamus membaca, mempelajari, dan “hanya” menuangkan ulang manuskrip-manuskrip kuno yang ia dapatkan dari dunia Arab. Hipotesa ini didukung fakta, bahwa ternyata Nostradamus bahkan berbahasa Arab. Dan ketika ia –ketika bertindak sebagai tabib- melakukan pengobatan, ia meletakkan tangannya di dahi pasiennya, dan membacakan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang memiliki irama yang sangat menakjubkan. Hal tersebut juga didukung fakta pengakuan Nostradamus sendiri bahwa nenek moyangnya telah mencuri manuskrip-manuskrip dari Bait Al Maqdis (Masjidil Aqsa), dan kemudian dipelajarinya.


Jayabaya

Jayabaya yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya tidak lain adalah Prabu Jayabaya, raja Kediri (1135 dan 1157 M), yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal masa depan. Terkait dengan ‘keislaman’ Prabu Jayabaya, Dalam Serat Praniti Wakya (karya Ranggawarsita) menjelaskan bahwa raja Kediri tersebut telah berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang berasal dari negeri Rum. Yang dimaksud dengan tokoh tersebut tentu adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar berasal dari Damaskus. Pabu Jayabaya, digambarkan dalam Praniti Wakya sebagai sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.


Adapun Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya di dalam Kitab Jangka Jayabaya tadi, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).


Oleh Pangeran Wijil, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama yang mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/Kediri. Setelah mendapat data baru – soal Raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal- itu, Pangeran Wijil lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukanlah antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad. Dalam Kitab Jangka Jayabaya, tersebut dijumpai beberapa ramalan tentang datangnya masa penjajahan Belanda (VOC) hingga masa pendudukan Jepang yang ‘seumur jagung’. Kemudian dilanjutkan dengan masa berdaulatnya bangsa Nusantara yang mengalami beberapa fase jaman dan era kepemimpinan.


Ranggawarsita

Karya sastra yang bersumber-sumber naskah kuno dan kemudian saling diperpadukan ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian. Salah satu pujangga yang adalah terkenal R.Ng. Ranggawarsita, cucu buyut pujangga Yasadipura I yang tak lain pengganti Pangeran Wijil I (penulis Jangka Jayabaya).


Nama asli Rangen Ngabehi Ranggawarsita adalah Bagus Burham. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara dan cucu dari Yasadipura II, pujangga besar Kasunanan Surakarta.Ranggawarsita pernah belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan Kyai Hasan Bashori atau sering disebut Kyai Kasan Besari dalam lidah Jawa. Dari sinilah muasal pembelajaran literatur Islam mengenai tasawuf dan lelaku batin yang kental mewarnai banyak karya-karya sastranya.

Beberapa karya Ranggawarsita antara lain ; Serat Aji Pamasa, Serat Candrarini, Serat Cemporet, Serat Jaka Lodang, Serat Kalatidha, Serat Panitisastra, Serat Pandji Jayeng Tilam, Serat Paramasastra, Serat Pustaka Raja, Suluk Saloka Jiwa, Serat Wedaraga, Wirid Hidayat Jati, Wirid Ma'lumat Jati, dan Serat Sabda Jati.


Ranggawarsita yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma. Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia. Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan misteri visi futuristis beliau sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya. Hal yang paling dikenal masyarakat dewasa ini adalah ramalan mengenai ‘Zaman Edan’ dan ‘Satrio Piningit’ –sebagaimana juga tertuang dalam Jangka Jayabaya- yang amat ditunggu-tunggu untuk membawa bangsa Nusantara kedalam era kejayaan, kemakmuran dan keadilan.


Membaca Tanda Jaman

Hikayat dan mitos yang berkembang mengenai peramalan-peramalan yang dilakukan beberapa tokoh yang terkenal dengan akurasi dalam karya sastra seperti Nostradamus, Jayabaya hingga Ranggawarsita secara analogis memiliki satu kemiripan dalam mengacu proses perulangan-perulangan kejadian dari suatu era ke era lain di masa depan.


Kajian mendalam Nostradamus pada literatur ‘curian’ dari Baitul Maqdis yang didukung pemahaman akan Bahasa Arab yang cukup baik menunjukkan bahwa sumber inspirasi karya sastra yang kemudian jadi rujukan peramalan itu adalah literatur Islam. Begitupun kitab ‘babon’ Musarar (Asror) yang menjadi rujukan Jangka Jayabaya karya Pangran Wijil I -termasuk bagaimana Prabu Jayabaya yang bermursyid pada Syeh Ali Syamsu Zein- hingga pengalaman spiritual Ranggawarsita selama menjadi santri Kyai Kasan Besari terdapat benang merah yang saling menghubungkan kerangka berfikir para ‘pembaca tanda jaman’ tersebut. Bila setiap ilmu dalam terminologi Islam adalah berpangkal Al-Qur’an dan Hadits Nabi maka sumber dari sanalah akar pengetahuan disiplin futurologi tersebut. Dan hal ini lebih mudah kita pahami dengan menggali Qur’an dan Hadits secara lebih mendalam. Salah satu implementasinya dapat kita lihat dalam karya-karya Astrologi Spiritual Ibn Al-Arabi. Pokok-pokok kajian beliau yang menguraikan dimensi makrokosmos hingga peredaran masa dapat menjadi kunci perhitungan aritmetis suatu kejadian dan jaman yang niscaya berulang.


Maka, membaca tanda jaman dengan menyandarkan fenomen-fenomen yang terjadi pada Qur’an dan Hadits bisa jadi suatu ijtihad tersendiri dalam menyikapi perubahan. Termasuk mempersiapkan diri akan apapun kemungkinan peristiwa yang bakal menimpa manusia di muka bumi kemudian. Karena tak ada satupun kejadian di muka bumi selain telah tertulis pada ‘Lauh al-mahfudz’. “ Allah mengangkat dunia untukku, dan aku melihatnya dan melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya hingga hari kiamat, seperti aku melihat kedua telapak tanganku ini. Keduanya jelas terlihat dari Allah yang menampakkannya kepada Nabi-Nya dimana ditampakkan-Nya kepada nabi-nabi sebelumnya “ (HR. Ibn Umar ra).
(STA)

Komentar

Postingan Populer