Jalesveva Jayamahe-kah ?


Terletak di ujung dermaga kawasan Armada Timur TNI AL, Ujung Surabaya. Monumen berbentuk figur perwira Angkatan Laut RI dengan tangan kanan berkacak pinggang dan tangan kiri memegang pedang kehormatannya, berdiri tegak menatap arah laut. Monumen dengan ketinggian 30.6 meter yang ditopang gedung beton bundar setinggi 30 meter. Pada bagian dinding gedung ini dibuat diorama sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang bahari sejak jaman prarevolusi fisik sampai tahun 90-an. Sedangkan gedung penopangnya berfungsi sebagai Museum TNI AL dan sekaligus juga sebagai Eksekutif Meeting Room.

Monumen ini dibangun tahun 1990 dan diresmikan Desember 1996 oleh Presiden Soeharto, dibangun atas inisiatif Kepala Staf TNI Angkatan Laut Indonesia saat itu, Laksamana TNI Muhamad Arifin, dirancang oleh seniman pematung kenamaan Nyoman Nuarta. Monumen Jalasveva Jayamahe demikian namanya. Orang lebih akrab mengenalnya dengan sebutan Monumen Monjaya.

"Jalesveva Jayamahe” merupakan motto atau seruan TNI Angkatan Laut Indonesia. Yang Menurut wikipedia, Sebenarnya ungkapan ini berasal dari Bahasa Sanskerta. "Jales.eva Jayamahe" dan bisa dianalisa sebagai berikut: Dua bagianawal, jales.u dan eva. Jales.u berasal dari kata dasar jala (maskulinum) yang berarti air dan jales.u adalah bentuk pluralis, lokativus sehingga secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai: "di air-air". Adapun ‘eva’ adalah sebuah partikel emfatik dan bisa diterjemahkan dengan kata "-lah". Sementara jayamahe, berasal dari kata kerja (verbum), ji, yang dikonjugasi menurut waktu presens, persona ketiga pluaralis dalam modus indikatif dan secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai: "kita berjaya". Maka secara lengkap motto ini dapat kita artikan secara bebas sebagai kalimat ; Di air-airlah kita berjaya ! Namun secara filosofis, motto ini akan berarti : "Di Lautan Kita Jaya".

Fakta sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Majapahit dan Sriwijaya adalah kejayaan Negara Maritim yang mengandalkan ketahanan ekonomi nasional melalui sentra pelabuhan dan jalur perdagangan laut yang implikasinya rakyat mampu mengembangkan potensi pangan secara mandiri untuk kesejahteraan mereka. Bahkan hingga era kerajaan Islam Demak kita masih memiliki armada laut yang tangguh dimana tak kurang dari dua kali Pati Unus sang putra mahkota mencoba menggempur Bandar Malaka yang tengah dikuasai Portugis. Pergeseran kultur maritim nusantara secara drastis terjadi pasca keruntuhan kerajaan Demak. Kekuasaan Pajang yang dilanjutkan kebesaran Mataram di tanah Jawa telah membentuk kultur bangsa agraris yang berorientasi pada daratan. Tragedi pemahaman daratan inilah yang boleh jadi menyebabkan kemiskinan, pengangguran dan krisis pangan meningkat di berbagai daerah terpencil khususnya masyarakat pesisir, terutama para nelayan. Laut dan bahari kemudian seolah hanya menjadi romantisme di masa lalu.

Pada tahun 1999 dibawah mandat Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Digagas kembali visi membangun ekonomi Indonesia berbasis kelautan untuk mengembalikan kejayaan negara maritim ini, hal ini lantas menjadi filosofi berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam perkembangannya kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang merupakan cikal bakal lokomotif pembangunan ekonomi Indonesia tetap konsisten dan menggandeng sektor lain dalam sebuah gerakan “Revolusi Biru” yakni merubah pardigma pembangunan berbasis daratan menuju paradigma pembangunan berbasis kelautan.

Akan tetapi, memang tak semudah membalik telapak tangan. Negara dengan wilayah laut dan perairan terbesar di dunia ini tak kunjung sejahtera. Carut marut politik, krisis kepemimpinan dan ketakberdayaan sistem penyelenggaraan pemerintahan berdampak pada makin jauhnya panggang dari api visi mulia kemaritiman kita. Meskipun dengan sdikit masygul, kita punya sedikit asa sebagaimana semiotika yang ingin disampaikan dari visualisasi patung sang perwira Monumen Monjaya. Matanya yang memandang jauh ke laut lepas seolah berujar, "Laut adalah ‘masa depan’ kita yang akan menjanjikan kejayaan !" © sta-VI/2011.

Komentar

Postingan Populer