Negeri Para Mesin


TIME edisi Kamis, 10 Pebruari 2011, Lev Grossman menulis artikel berjudul 2045: The Year Man Becomes Immortal, sebuah judul yang cukup sensasional. Artikel tersebut berisi lompatan progresi ilmu pengetahuan yang memungkinkan fenomena kecerdasan buatan atau Artificial Intelegence (AI) yang memicu terjadinya transformasi spesies manusia di muka bumi. Bagaikan dalam film-film sci-fi produksi holywood maka pada kondisi masa depan kita yang kemudian disebutnya sebagai singularity itu diperkirakan akan terjadi ‘booming’ mahluk buatan super cerdas semacam cyborg yang akan merubah wajah peradaban. Ini bukan semata-mata ide pinggiran, melainkan sebuah hipotesis serius tentang masa depan kehidupan di Bumi.

Grossman mungkin bukan seorang futurolog sebagaimana Alvin Toffler, atau peramal semacam Nostradamus. Keyakinannya didasari kejadian-kejadian empirik yang dia catat sejak tahun 60-an hingga sekarang serta mengkaitkannya dengan pertumbuhan serta percepatan kemajuan teknologi modern dewasa ini. Maka lahirlah premis dan hipotesis semacam yang telah dimuat di TIME tadi.

Kita tidak hendak mendebat ‘manusai abadi’-nya Grossman, namun kita hanya tergelitik untuk lebih merenungkan apa yang akan terjadi di nusantara pada tahun 2045 itu. Apabila dunia barat dengan kemajuannya sebagian telah direpresentasikan Lev Grosman yakni identik dengan teknologi yang secara drastis merubah wajah peradaban bumi, akankah hal demikian juga terjadi di negeri bernama Indonesia ini ?

Dunia barat, tiga dasawarsa lebih sebelum tercapainya angka 2045 -saat ini- merupakan potret sekularistik yang nyaris sempurna. Dengan simbol-simbol kapitalisme yang menguasai dan mengendalikan hampir di semua segi kehidupan. Hal yang lambat laun menjajah pola pikir dunia ‘timur’ yang sebagian masih bertahan dalam tata nilai sosialisme meskipun sepertinya akan sia-sia mengingat serbuan globalisme yang dipimpin panglima ‘barat’ teramat gencar, kuat, dan dihadapi dengan ‘tanpa perlawanan’ yang berarti. Cara pandang peradaban manusia diseragamkan dalam konsep yang dicekokkan bertubi-tubi ke semua penjuru dunia melalui teknologi informasi. Paham dan aliran diciptakan dalam satu platform yang bernama demokrasi dan materialisme. Ilmu pengetahuan lebih menjadi komoditas ekonomi dan menjauhkannya dari nilai-nilai sosial atau kemanusiaan. Dan sisi sosial-kemanusiaan hanya menjadi alat propaganda serta kampanye-kampanye normatif belaka.

Peradaban dunia akan menjadi set yang telah diskenariokan oleh suatu kultur dominan. Hegemoni kultur ini menjadi sedemikian adikuasanya di muka bumi, sehingga setiap anomali yang menyimpang dari agenda besar penciptaan peradaban global tadi niscaya akan menjadi ‘virus’ yang akan diperangi secara kolektif oleh segenap penganut ‘mazhab’ peradaban besar itu.

Negara Kesatuan RI tercinta kita, 2011. Masih punya waktu sebelum ‘ramalan’ peradaban global itu tiba dan 2045 masih tiga dasawarsa di depan. Tahun 2045 adalah tepat seabad Negara berdaulat ini menikmati era kemerdekaannya. Tetapi kita harus sadari sejak dini, betapa kita tak lagi memiliki sepenuhnya kemerdekaan untuk menikmati karunia kemerdekaan itu sendiri. Kekayaan alam dan sumberdaya yang dieksploitasi asing, perekonomian yang penuh ketergantungan dan hampir tak mungkin lagi untuk mandiri, perdagangan yang dikendalikan pasar bebas, kedaulatan yang nyaris dipandang sebelah mata –bahkan oleh tetangga sendiri- , jati diri dan nasionalisme yang makin jadi mitos atau dongeng dari masa lalu, dan nilai-nilai materialisme yang didiktekan oleh konsep sekularisme masyarakat dunia mendorong manusia-manusia katulistiwa memberi tafsir tersendiri soal hukum dan keadilan.

Bila ini tak segera disadari, masihkah kita akan merayakan seabad HUT Proklamasi RI di tahun 2045 ? Tentunya sebagi suatu bangsa yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian dalam kultur spesifik sebagai manusia dengan peradaban Indonesia. Meskipun hal itu tanpa harus menjadikannya teralienasi dari pergaulan internasional yang pasti makin maju dan modern.

Ataukah seperti ide dan perkiraan Grossman yang akan terjadi, negeri ini mungkin lebih baik dijalankan dan dikendalikan oleh mesin-mesin super cerdas. Yang telah terprogram dengan sistem yang logik dan empirik, sehingga secara emosional tak akan tergoda untuk melakukan pelangaran hukum atau malah memperdagangkan keadilan demi memenuhi tuntutan kepuasan materialismenya sebagaimana ‘manusia’ semacam yang ada di era sekarang. Sementara 2045 mungkin masih jauh… tapi dari gejalanya, mungkin juga tidak !! ©sta-2011.

Komentar

Postingan Populer