Mas Wardi dan Analogi Demokrasi


Penghujung paruh pertama tahun 2008 yang lalu. Warga RT 16/RW05 Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta berkumpul di sebuah lapangan bulutangkis. Mereka adalah para kepala keluarga atau warga RT yang masing-masing mewakili satu keluarga sebagaimana tertera dalam Kartu Keluarga (Formulir C1) yang dimilikinya, duduk lesehan di atas tikar dengan sajian jajanan pasar dan teh hangat, penuh kekeluargaan dan kebersamaan. Malam itu mereka tengah melangsungkan pesta demokrasi di tingkat lingkungan RT, yakni pemilihan Ketua RT yang baru. Setelah masa jabatan Ketua RT sebelumnya telah usai maka perlu segera dipilih penggantinya.

Sejumlah nama disodorkan oleh para warga setelah melalui musyawarah beberapa waktu sebelumnya sebagai kandidat. Menilai kelayakan, kemampuan dan kepantasan warga yang nantinya dapat dipilih lewat semacam fit and proper test yang sederhana. Dan dalam pemilihan yang demikian hangat dan sangat demokratis itulah terpilih seorang pemuda bernama Suwardi. Pemuda yang baru menginjak awal usia tigapuluhan itu memang sudah sangat dikenal warga, aktif memimpin remaja masjid, mengkoordinir karang taruna dan tentu saja banyak membantu tugas-tugas perangkat RT dan lingkungan sekitarnya dalam setiap kegiatan kampung. Mas Wardi -demikian nama panggilan akrab yang diberikan oleh warga- memang pantas terpilih sebagai Ketua RT yang baru. Tantangan jaman ke depan yang dihadapi sungguh membutuhkan pemikiran dan tenaga muda yang energik dan kreatif seperti yang dimilikinya. Tak ada satupun kandidat kalah yang kecewa dalam pemilihan tersebut, semua terlihat senang dan bahagia. Bahkan, dengan besar hati dan tulus menawarkan bermacam bantuan materi, tenaga dan pikiran kepada Ketua RT terpilih dalam menjalankan tugasnya nanti. Ini bagaikan simbol regenerasi kepemimpinan yang berjalan demokratis dengan mulus,elok dan amat santun.

Mas Wardi, sang Ketua RT terpilih ternyata memang mampu membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi pemimpin di lingkungannya. Tugas pelayanan terhadap warga tak pernah lalai dan terabaikan. Dalam 24 jam selama 7 hari kerja yang tanpa ada hari libur, pintu rumah Mas Wardi selalu terbuka bagi warga. Beliaupun tak canggung untuk selalu keliling kampung untuk menyampaikan berbagai pemberitahuan, undangan, serta tugas administratif RT lainnya. Program kerja bakti berjalan lancar, dan kerukunan warga tetap terbina dengan baiknya. Dan yang menggembirakan, kedekatannya dengan para pemuda dan remaja membuat mereka sangat senang dan antusias untuk terlibat di berbagai kegiatan kampung. Suatu proses pematangan bagi kader pemimpin kampung di masa depan, sebagaimana pengalaman yang diperoleh Mas Wardi sendiri.

Sebuah proses pemilihan yang sederhana dan bersahaja. Tanpa gegap gempita kampanye yang menghamburkan banyak uang, tanpa hiasan janji-janji manis para kandidat. Berlangung dengan jujur dan adil dengan mengedepankan hak-hak pilih setiap warga. Tanpa money politic, tanpa kontroversi, tanpa tetek bengek koalisi yang sarat nuansa perilaku ala dagang sapi. Tanpa silang sengketa dan debat kusir setelahnya. Satu proses demokrasi yang dilangsungkan oleh warga yang bersahaja dan berfikir sederhana, bukan oleh politisi-politisi pintar berpendidikan tinggi yang malah cenderung membodohi rakyat. Hasilnya.. terpilih pemimpin yang dihormati, disegani dan didukung seluruh warga. Dus, bonus istimewanya ; tampilnya sosok pemimpin muda yang memiliki semangat, energi dan visi yang jauh ke depan.

Contoh kecil bahwa kita sebagai bangsa, sebenarnya mampu menjalankan Demokrasi yang Efektif dan Efisien, dalam arti satu proses yang Baik, Santun, Bermartabat dan Murah. Namun kenapa jadi tidak mampu ketika dilakukan di tingkat yang lebih tinggi ?
(c) Sonny T Atmosentono

Komentar

Postingan Populer