PENGGALI DAN PELESTARI BAHASA MADURA

Sejumlah budayawan dan pakar Bahasa Madura sebelumnya pernah berupaya menyusun sebuah kamus mengenai Bahasa Madura. Namun para budayawan tadi terbentur dengan banyaknya versi dialek dan struktur bahasa Madura. Hal ini karena pengguna aktif Bahasa Madura tersebar selain di empat kabupaten di Pulau Madura (Bangkalan,Sampang, Pamekasan dan Sumenep), juga di wilayah Pedalungan yakni pada daerah eks-karesidenan Besuki yang terbentang dari Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang, Bondowoso, Situbondo hingga Banyuwangi. Daerah-daerah di Jawa Timur yang lebih dikenal dengan sebutan wilayah Tapal Kuda, dari masing-masing wilayah tadi memiliki spesifikasi dialek dan struktur yang berbeda. Selain itu, Bahasa Madura yang mengenal strata sebagaimana bahasa Jawa yang membedakan strata bahasa dalam Basa enja’-iyah (kasar / rendah), Basa enggi-enten (menengah) dan Basa enggi-bhunten (halus/tinggi/kromo inggil ; Jw). Yang paling sulit adalah belum adanya kesepakatan tentang tata cara penulisan ucap Bahasa Madura yang baku. Penulisan ini berkaitan dengan pola pengucapan kosa kata Bahasa Madura yang unik, yaitu banyak fonem ‘beraspirat’ yang dihembuskan alam pengucapannya serta sejumlah aspek morfologis lainnya. Sementara saat itu, sebagai acuan dalam kurikulum pengajaran Bahasa Daerah Madura di sekolah-sekolah hanya merelasi pada Bahasa Madura yang umum digunakan di Sumenep. Tarik ulur dan proses penyamaan persepsi ini berlarut-larut hingga akhirnyan para budayawan yang concern pada Bahasa Madura tersebut satu demi satu meninggal dan mengalami uzur. Para pakarpun mulai menarik diri dari perhatian penyusunan kamus tersebut.

BERAWAL DARI SURAT YAASIN SANG AYAH dan TOKO BUKU

Mendiang M. Irsyad –seorang budayawan, seniman dan komponis Madura- pada suatu ketika sempat menyusun tafsir Surat Yaasin ke dalam Bahasa Madura. Dan dari tafsir kecil unik yang telah dibuatnya inilah, salah satu puteranya mulai tertarik untuk mulai menggali keunikan-keunikan bahasa yang selama itu menjadi bahasa ibu di lingkungan tinggal mereka. Maka Adrian Pawitra -demikian nama sang putera tersebut- mulai mencoba mengumpulkan bahan-bahan sekadarnya untuk disimpan. Hingga akhirnya pada tahun 2000, saat Adrian berada di sebuah toko buku besar pada satu Mal di Surabaya dia menjumpai bahwa diantara buku-buku yang dipajang di deretan kelompok kamus tak dijumpai barang satupun Kamus tentang Bahasa Madura. “Timbul keinginan yang kuat agar suatu saat nanti ada kamus Madura yang ikut berjejer dan nangkring dengan kamus2 bahasa lainnya..” jelas Adrian tentang gagasan yang tiba-tiba muncul saat itu.

Beruntung bagi Adrian, almarhum M. Irsyad ayahandanya –yang juga budayawan dan seniman kawakan Madura- sebelum wafat sempat mewariskan karyanya berupa konsep per aturan Ejaan Madura Tepat Ucap (EMTU) sebagai panduan penulisan ucap kosa kata Madura. EMTU yang disusun M. Irsyad sejak 1998 hingga 2000 bersama kawan-kawannya inilah yang menjadi bekal bagi Adrian dalam melakukan inventarisasi
Bahasa Madura. Almarhum ketika wafat juga mewariskan segudang literatur kuno tentang ke-Maduraan yang beragam, termasuk diantaranya Wordenboek, satu Kamus Madura-Belanda yang pernah disusun oleh peneliti Belanda pada masa sebelum kemerdekaan RI. Ketika pada 2001 Adrian dan kawan-kawannya mendirikan Yayasan PRAGALBA, sebuah lembaga pelestarian dan pengkajian Budaya Madura salah satu alasannya adalah untuk menyelamatkan asset almarhum yang tak ternilai tadi.

"Saya dengar cerita kalau beberapa budayawan Bangkalan pernah punya cita-cita yang sama. Namun, semuanya terhenti di tengah jalan. Jadi, saya harus bisa lanjutkan perjuangan mereka", ungkap Adrian. Dan pada tahun 2001, Adrian memulai proyek besarnya ini. “Saya sampai harus belajar Bahasa Belanda untuk bisa paham akan peninggalan orang tua saya. Saya diuntungkan dengan peninggalan kamus Bahasa Madura-Belanda yang pernah diteliti orang Belanda tadi" lanjutnya.

Adrian mengusung semboyan tidak malu untuk terus bertanya. Walaupun dia sudah memiliki warisan peninggalan orang tuanya tentang dasar kamus bahasa Madura, namun perkembangan jaman memaksa dia terus berupaya memperbaikinya. Adrian selalu datang dari rumah ke rumah orang-orang yang dianggapnya mengerti. Dia juga tidak pernah melupakan setiap pertemuan yang mengusung tema bahasa Madura. Dia merasa terbantu dengan adanya pertemuan kalangan budaya di Bangkalan dan beberapa wilayah Madura yang setia menggunakan bahasa Madura. Komunitas seniman dan budaya Madura seperti Tera’ Bulan, Kompolan Kacong Jebbing Bangkalan (K2JB), serta keterlibatannya sebagai anggota Komisi Bahasa Madura dalam Pangghellar Bhuddhi “Nangghala” hingga aktif dalam Konggres Budaya Madura memberi banyak masukan dan kontribusi temuan beberapa kosa kata yang mulai langka.

MELAWAN KEJENUHAN DAN MENGHADAPI COBAAN

Pertemuan dengan Moediro Atmosentono, pakde salah satu pengurus Yayasan Pragalba yang merupakan penyusun Kamus Indonesia-Tiongkok yang bermukim di Beijing dalam suatu kunjungannya di tanah air, memberikan gambaran bagaimana Moediro di RRC sana menyusun kamusnya hingga selesai dalam waktu delapan belas tahun. Adrianpun pada saat itu mulai merasa sangat sulit dan akan butuh bertahun-tahun untuk membuat kamus. Beruntung, kawan-kawan di Yayasan Pragalba serta komunitas seniman dan budayawan Madura terus member dorongan padanya untuk melanjutkan penulisan kamus itu. “Kemudian saya juga berpikir bahwa untuk membuat kamus harus terlebih dahulu belajar beberapa ilmu, seperti tentang ejaan, fonetis dan sebagainya”.Di tengah kesibukannya sebagai tenaga ahli di sebuah konsultan Perbankan, Sarjana Ekonomi alumni UNIBANG (sekarang UNIJOYO, Bangkalan) ini mulai dihinggapi kejenuhan. Dalam masa-masa ini, naluri kesenimanannya yang kemudian menggiringnya menciptakan beberapa karya. Diantaranya ; Buku Kumpulan Lagu Madura, penerbit Lembaga Pelestarian kebudayaan Madura (LPKM) Jakarta 2003 dan dua album rekaman lagu-lagu Madura yaitu Album Lagu Madura Karaoke tahun 2004 serta Madurese Love Songs pada 2005. Dua album ini diproduserinya sendiri.

Baru pada bulan Oktober 2005 dia kembali konsentrasi penuh menulis kamus, dalam perjalanan menulis kamus tersebut tidak sedikit ujian yang dihadapinya, contohnya pada tahun 2007, “Rumah saya dimasuki pencuri.. salah satu barang yang dicuri adalah laptopku, yang berarti hilanglah semuanya, karena filenya belum sempat saya back up, padahal waktu itu saya sudah separuh jalan dalam membuat kamus, sempat patah semangat dan sulit untuk memulainya lagi dari awal” tutur Adrian. Tapi untunglah seminggu kemudian dia mendapat info kalau pencurinya minta tebusan, langsung ditebusnya laptop itu dan proses penulisan kamus kembali berjalan lancar.

Selama sembilan tahun menyusun kamus bahasa Madura, merupakan pengalaman dan kerja keras bagi suami dari Dwi Puspitasari ini. Apalagi dia harus sendirian dalam menggarapnya, termasuk membiayai pekerjaan tersebut dari kantong pribadi. Banyak pihak yang menilai, karya Adrian tersebut hanya mungkin dikerjakan oleh suatu Tim Ahli yang terdiri dari para pakar Bahasa dan akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menurut Adrian, dia menuntaskan membuat kamus yang mencapai 10 ribu lebih kata itu pada Maret 2009. Dua bulan berikutnya dia lakukan perbaikan, termasuk menambahkan fonetis pada setiap kata.

BANTUAN YANG DATANG TAK TERDUGA


Cerita menarik Adrian dalam upaya menyusun kamus juga terjadi dalam upaya mencari penerbit. Pengetahuan yang terbatas Adrian tentang dunia percetakan dan penerbitan membuat dia hanya ingin pergi ke satu penerbit besar di ibukota yang diketahuinya guna menawarkan hasil karyanya. Namun, Tuhan ternyata berkehendak lain. Adrian hanya butuh waktu singkat, yakni dua bulan untuk deal dengan penerbit yang belakangan diketahui bernama PT Dian Rakyat.


Di sela-sela proses penyelesaian kamusnya, dia berkenalan dengan seorang pengusaha asli Bangkalan bernama Pak Pri. Saat itu, cerita Adrian, Pak Pri meminta bantuannya menjelaskan sesuatu tentang Madura berdasarkan literatur yang dimiliki almarhum ayahnya via telepon. Dari situlah Adrian juga bercerita tentang upayanya membuat kamus Bahasa Madura dan tinggal diserahkan ke penerbit. Ternyata, Pak Pri punya teman karib bernama Mario Alisahbana, yang tak lain cucu dari pujangga ternama Sutan Takdir Alisahbana. "Dia ternyata direktur PT Dian Rakyat. Pokoknya tiba-tiba saja ada telepon dari perusahaan itu yang tertarik mencetak kamus yang saya susun," ungkapnya.

"Dialah yang menjadi penghubung saya dengan penerbit. Tapi, terus terang sampai saat ini saya belum bertemu langsung dengan Pak Pri, sebab kami sama-sama sibuk," papar Adrian mengenai sosok Pak Pri yang telah membantunya itu. Upaya Adrian menyusun kamus Bahasa Madura-Indonesia akhirnya tuntas pada Mei 2009. Tuntasnya proses menyusun kamus itu setelah terjalin kontrak dengan penerbit yang siap mencetak kamus setebal 855 halaman itu. Dalam Agustus ini cetakan edisi pertama Kamus Lengkap Bahasa Madura-Indonesia “Dengan Ejaan Madura Tepat Ucap” –EMTU- sudah siap diluncurkan. Bahkan, Adrian sudah menyiapkan tanggal yakni 15 Agustus 2009 ini untuk me-launching karyanya di Bangkalan, kota kelahirannya.

Kini Adrian juga telah menyelesaikan dua karyanya yang lain. Masih mengenai ke-Maduraan yang telah demikian mendarah daging baginya, yaitu sebuah novel berlatar Carok (tradisi perkelahian bersenjata etnis Madura), dan buku Kompolan Papareghan Madhura (Kumpulan Peribahasa Madura). “Masih menunggu penerbit yang berminat” jelasnya. Disamping itu, masih tersimpan satu obsesi besar yang ingin diwujudkannya yakni menyusun Kamus Bahasa Indonesia-Madura. ©Teguh Arsono-2009.

Komentar

Postingan Populer