Mbah Sugik yang mampir minum



Menjelang bulan Ramadhan, telah menjadi kebiasaan kebanyakan masyarakat –terutama- di Jawa untuk melakukan tradisi ziarah ke kubur leluhur dan sanak kerabat. Tradisi ini lazim disebut ‘Nyadran’, atau bila orang Madura akan menyebutnya “Nyalase”. Dalam tradisi ini umumnya penziarah ini bersama-sama membersihkan, merapikan bahkan mempercantik kuburan sanak kerabat yang telah menjadi ‘penghuni tetap’ di area pemakaman. Mungkin dengan harapan agar segenap ahli kubur yang tengah bersiap ‘menyambut liburan’ itu turut merayakan datangnya bulan berkah dan beribu fadilah ini.

Bagi Sugiono (76 tahun), tradisi tersebut memberikan berkah yang lain lagi. Yaitu berolehnya sejumlah rejeki berupa tips dari penziarah yang datang. Tips ini umumnya sebagai bentuk rasa terima kasih atas jasa profesi yang selama ini dijalani oleh Mbah Sugik –demikian orang menyebut namanya-. Ya, beliau ini adalah seorang juru kunci kompleks pemakaman umum Desa Ngubalan, Kalidawir di Kabupaten Tulungagung. Profesi ini merupakan warisan dari mendiang Karto Mugiarto ayah kandung Mbah Sugik yang wafat duapuluh empat tahun lalu. Akan tetapi, sebelum menjalankan profesi juru kunci secara penuh ini beliau sedari muda memang sudah bergiat membantu ayahnya di kompleks pemakaman umum tersebut.

“Kalau dulu waktu saya masih kuat macul (mencangkul) ya ‘njaga makam ini cuma sambilan. Tiap hari saya ‘mburuh di sawah orang. Sekarang sudah ndak kuat lagi, jadi ya cuma ini yang bisa dikerjakan” tutur Mbah Sugik. Menjaga makam agar selalu rapi, memangkas dan mencabuti rumput liar serta menyapu area pemakaman seluas hampir satu hektar ini adalah kesehariannya. Dengan hampir duapertiga umurnya diabdikan di sini, sehingga dari empatratusan nisan di sana nyaris tak ada makam yang tidak dikenalinya. Kadang, seringkali bila ada beberapa penziarah jauh yang datang kesulitan menemukan makam kerabatnya, maka disini peran Mbah Sugik sebagai pemandunya.

Upah sebesar 75 ribu rupiah sebulan yang diterimanya dari pengurus dusun mungkin sungguh sangat kecil nilainya bagi kita. Namun kesetiaan pada profesi membuat beliau tetap menjalani tugasnya dengan penuh ikhlas dan syukur. Tambahan penghasilan yang tidak selalu tetap sesekali didapat bila ada ‘penghuni baru’ yaitu saat Mbah Sugik membantu menyiapkan lokasi liang lahat serta mencarikan kuli cangkul. Dari jasa ini dia dapat bagian 10 ribu rupiah dari para penggali tadi. “Saya juga mengumpulkan gogrokan kembang (bunga yang telah berguguran) dari pohon kamboja”, jelas Mbah Sugik. Untuk kemudian dijual ke pengepul bahan baku pembuat minyak kamboja. “Sekilonya enambelas ribu, saya sering cuma dapat setengah kiloan tiap nyetor”.

Dan memang Ramadhan adalah sebentuk kebahagiaan lainnya bagi Mbah Sugik. Sebab selain akan menerima pencapatan ekstra dari penziarah, maka dia juga akan melakukan hal yang sama dengan penziarah lainnya, yakni mempercantik nisan kubur almarhumah isterinya –yang wafat 12 tahun silam- serta kedua orang tuanya. “Saya baru ngelabur (mencat dengan kapur) kuburan istri saya” ujar si Mbah seraya menunjuk satu makam di ujung belakang kompleks.

Di ujung percakapan kami, beberapa kalimat Mbah Sugik seperti selalu terngiang di telinga saya. “Njaga makam gini membuat saya makin ikhlas bila nanti dipundut (diambil) gusti Allah. Lha wong mati itu cuma mbawa mori (kafan) saja, buat apa nglakoni urip (menjalani hidup) ini neko-neko”.

Urip niko ‘kan mung mampir ngombe, dik..” (Hidup ini ibarat sekedar mampir minum). Sungguh sesaat waktu menjalaninya. Subhanallah..

(Sonny T Atmosentono 2009).

Komentar

Postingan Populer