HUTANG


Setiap orang pasti pernah mengalami kesulitan. Bil khusus, kesulitan secara ekonomi atau mudahnya disebut kesulitan keuangan. Dan daripadanyalah, maka timbul ‘budaya’ hutang–piutang. Pada satu sisi, langkah ini akan menjadi solusi darurat bagi yang membutuhkannya, namun bila direnungkan lebih jauh, maka dalam perkembangannya tata cara hutang piutang telah mengalami metamorfosa yang demikian pesat dan justru seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari peri kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam dunia usaha, konon hutang menjadi semacam ‘kewajiban’ bagi para pelakunya.

Kembali pada hakekat hutang sendiri. Bahwa penghutang adalah pihak yang membutuhkan sejumlah nilai tertentu untuk menunaikan hajat yang tertentu pula. Oleh karenanya, dia akan menemui pemberi hutang untuk memperoleh sejumlah nilai tertentu yang dibutuhkan dengan suatu kesepakatan yang disetujui kedua pihak untuk kemudian pada waktu tertentu akan dilakukan pengembalian piutang tersebut dari penghutang kepada pemberi hutang. Maka, seyogyanya disadari bahwa hutang adalah pinjaman yang padanya tetap melekat hak-hak kepemilikan atas si pemberi hutang.


Sederhananya, hutang timbul karena adanya kebutuhan dari pihak yang kekurangan –atau bahkan tidak berpunya-. Dan dari ke-
dhaif-an inilah itikad berhutang biasa dimulai. Bila kita sama-sama merasakan bagaimana ke-dhaif-an telah menjadi semacam musibah yang sangat tidak mengenakkan untuk dialami dan dirasakan maka ‘berhutang’ akan menjadi ‘fungsi turunan’ (diferensiasi) dari ke-dhaif-an tadi. Maka terbayangkan bagaimana berlipatnya rasa ‘tidak enak’ ini harus ditanggung oleh si penghutang. Berhutang karena ‘keterpaksaan’ yang tak terhindarkan ini sering harus dijalani oleh mereka yang secara materi termasuk kelompok manusia yang ‘tidak atau kurang beruntung’. Sementara, di sisi yang lain terdapat kelompok manusia yang memiliki materi berlebih. Dalam arti, melebihi standar pemenuhan materi kebutuhan primernya, sehingga masih tersisa sejumlah kelebihan materi lain yang relatif dapat digunakan selain memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer tadi.

Dalam hutang, terdapat dimensi psikologis yang menekan baik bagi penghutang maupun pemberi hutang. Setiap penghutang, pada awalnya sudah harus merasakan beratnya kondisi dhaif yang dialami, kemudian harus ‘merebahkan’ harga diri, mengabaikan ‘kemuliaan’ dengan sekedar ‘meminta’ uluran bantuan (meskipun dalam bentuk hutang) pada pihak lain. Dalam posisi tawar lemah, penghutang lebih mudah terjebak dalam perjanjian dan kesepakatan yang diatur sepihak oleh pemberi hutang. Selanjutnya dia akan tetap dihantui dengan resiko ketakmampuan untuk mengembalikan hutang tersebut. Belum lagi bila benar-benar menjadi ‘wanprestasi’ dan dikejar-kejar oleh pemberi hutang untuk dapat segera mengembalikannya. Bahkan, tak jarang secara materiil, nilai hutang yang harus dikembalikan sering berlipat ganda atas dasar perhitungan-perhitungan tertentu sebagaimana syarat dan kondisi yang disepakati di muka. Dan apapun bentuknya, hutang akan tetap dihitung sebagai beban kewajiban ahli waris jika sahibul-hutang itu harus berpulang. Sementara pihak pemberi hutang, meskipun dalam posisi ‘lebih aman’ namun tetap saja memikul beban psikologis yang tak kecil pula. Resiko tak terbayarnya hutang –karena berbagai sebab- selalu mengikuti proses hutang piutangyang berjalan. Terlebih lagi bila terdapat kesepakatan yang lemah dan tidak adanya jaminan (collateral). Menagih hutangpun bukan perkara yang mudah, karena tak jarang harus berhadapan dengan banyak konflik. Baik secara fisik maupun secara batin dimana nurani penagih sering tak sampai hati untuk bertindak jauh pada pengutang yang ‘terpaksa’mangkir atau wanprestasi.

Dewasa ini, -dengan berbagai alasan dan logika ekonomi- hutang dimodifikasi untuk banyak hajat dan keperluan. Mulai dari hutang untuk modal usaha hingga hutang untuk konsumsi (yang ironisnya seringkali bukan untuk kebutuhan-kebutuhan primer). Hutang jadi sangat mudah diperoleh karena banyak ‘lembaga’ pemberi hutang yang menawarkannya. Lembaga–lembaga yang akan menarik keuntungan dari ‘hutang-piutang’ itu berlomba menarik penghutang sebanyak-banyaknya. Penghutang sekarang tak perlu lagi harus ‘jatuh image’, dan (celakanya) justru makin akan ‘terhormat’ dengan pemanjaan bermacam fasilitas yang diberikan oleh si pemberi hutang. Hidup yang konsumtif dan maraknya praktik riba makin merajalela, meski tak sedikit pula yang jatuh terpuruk dalam belitan hutang.

Maka disini kita perlu merenungkan sebentuk nilai-nilai kemuliaan yang diajarkan oleh agama. Pertama, bahwa kefakiran akan dekat pada kekufuran. Kedua, tangan di atas akan lebih mulia daripada tangan di bawah. Ketiga, setiap muslim adalah saudara. Dan Keempat, berpola hidup yang tidak berlebih-lebihan. Apabila hal-hal tersebut dikaji sebagai ‘ilmu’ dan diterapkan sebagai ‘amal’ niscaya setiap ‘hutang ‘ akan terhindarkan. Bekerja keras untuk nafkah yang halal dan berpola hidup sederhana akan menghindarkan ke-dhaif-an materi. Berzakat dan bershadaqah untuk me-redistribusi-kan perolehan materi pada pihak yang lemah dan kurang beruntung. Serta dipupuknya rasa sepersaudaraan untuk membantu orang lain tanpa menghitungnya sebagi hutang. Bersegera ‘memberi’ tanpa harus terlebih dahulu ‘diminta’ (tentu harus diringi dengan tingginya kepekaan sosial) juga dalam rangka membangun ‘kemuliaan’ bagi setiap manusia. Terciptanya keadilan serta kemakmuran tentu bukan ilusi dalam situasi yang penuh harmoni demikian.

Jadi, sedapat mungkin hindari berhutang dan jauhkan diri dari memberi hutang. Berikan bantuan dalam bentuk
shodaqah yang ikhlas dan tidak saling membebani. Biarkan Allah yang akan ‘mengembalikan dan membayarnya’ serta menghitung kadar dan nilai setiap bentuk pemberian tersebut. Tidaklah salah, bila Imam Ghazali senantiasa menekankan bahwa “berhutang” adalah salah satu ‘penyakit hati’. Dan hal ini secara nalari benar-benar tak dapat kita pungkiri..
© S T Atmosentono-2009.

Komentar

Postingan Populer