Tradisi Bah Kacung dan Tahu legendaris



Ragam jenis tahu yang ada di Indonesia umumnya dikenal dengan tempat pembuatannya, misalnya tahu Sumedang yang dikenal renyah dengan permukaan yang bertekstur atau tahu Kediri yang biasa di sebut tahu Kuning -tidak jarang disebut dengan tahu Takwa-. Tahu kuning ini berbeda karena warnanya yang kuning serta tekstur yang halus dengan bentuknya yang padat dan kenyal. Berkat tahu tersebut, maka Kediripun hingga mendapat julukan kota tahu.

Takwa juga berarti tahu. Makanan berprotein tinggi dari Cina ini dibuat dari kedelai. Konon, kata tahu berasal dari bahasa Cina: tao-hu, teu-hu, atau tokwa. Tao atau teu berarti kacang (kedelai). Hu dan kwa berarti lumat. Sementara dari literature lainnya diketahui pula bahwa asal kata Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) (Hanzi: 豆腐, hanyu pinyin: doufu) yang secara harfiah berarti "kedelai yang difermentasi".

Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An (Hanzi: 劉安) yang merupakan seorang bangsawan, cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang yang mendirikan Dinasti Han. Dan segera menyebar ke berbagai belahan dunia seiring dengan arus migrasi masyarakat etnis Cina. Sementara di Jepang kemudian dikenal luas dengan nama tofu.

Pelopor industri tahu Kediri adalah Lauw Soe Hoek atau hingga kini lebih dikenal sebagai Bah Kacung yang merintis usaha tahu sejak 1912. Dan hingga kini masih tetap bertahan dengan cirri khasnya. Salah satu “citra” tahu Bah Kacung yang masih tetap dipertahankan adalah cara tradisional dalam membuat tahu. Peralatannya masih dibuat dari kayu dan batu, serta dikerjakan secara manual dengan tenaga manusia. Bahkan, pembakarannya masih menggunakan kayu. Konon dengan menggunakan gilingan ini rasa tahu lebih gurih karena bubur kedelai tidak lumat terlalu halus seperti hasil jika digiling dengan mesin. Bahkan ampas tahunya masih terasa gurih.

Tahu olahan Bah Kacung menggunakan kedelai lokal karena lebih baru dan gurih. Kedelai yang telah terpisah dari kulit arinya -agar tahu tidak cepat masam- dilakukan dengan direndam dulu selama enam jam kemudian digiling menjadi adonan bubur halus menyerupai bubur encer kedelai putih. Proses tersebut mengunakan penggilingnya berupa dua roda batu yang ditumpuk sehingga as rodanya bersatu dengan tangkai pemutar kayu. Selanjutnya, bubur encer putih ini dimasak dalam bak dan tungku semen dengan bahan bakar kayu. Mereka tidak menggunakan gas atau minyak tanah. Konon, memasak dengan kayu membuat tahu menjadi matang merata atau lebih tanak. Apinya juga tak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh mati hingga seluruh bagian cairan kedelai bisa matang dengan sempurna. Setelah matang disaring dengan kain hingga terpisah dengan ampasnya lantas diaduk perlahan dengan takaran tertentu dicampuri cuka. Setelah menggumpal, barulah adonan lumat ini dituang dalam cetakan. Usai diratakan dan ditekan supaya padat, gumpalan tadi dipres dengan alat dari kayu. Supaya tahunya sama sekali tidak berair, alat pres tadi diberi empat gandulan besi. Masing-masing beratnya 20 kg. Setelah dipres dengan besi selama seperempat jam, tahu dipotong dan siap dijual.

Sebagian tahu dibikin takwa. Tahu putih itu harus dimasak dalam campuran air dan tumbukan kunyit, serta sedikit garam. Itu sebabnya, rasa takwa gurih dan sedikit asin. Warnanya juga kuning dan baunya lebih harum ketimbang tahu biasa. Takwa juga enak dimakan begitu saja, tanpa dimasak terlebih dulu.

“Tahu kami memang sedikit mahal dari tahu Kediri yang lain di jalan Patimura (dulu: Pejagalan Lor) karena kami memang menjaga mutu dan rasa, tahu Bah Kacung sama seperti dulu.” Kata Herman, generasi ketiga penerus Lauw Soe Hoek yang meninggal pada 1963 dan menerima estafet dari ayahnya Lauw Sing Hian (meninggal 2008). Sejak dahulu sejak pagi buta toko Bah Kacung telah melakukan aktivitasnya. Toko ini telah buka untuk melayani pembelinya sejak jam 6 pagi hingga jam 8 malam. Sebagai penerus, Herman tetap berusaha menjaga tradisi yang telah ditetapkan oleh kakeknya itu.

Sementara industri tahu Kediri lain sudah lebih maju dengan peralatan dan kemasan moderen berbahan pengawet, sehingga bisa mengirim tahu ke luar Kediri, mereka masih tetap bertahan dengan tradisinya. Tak heran jika kapasitas produksi Bah Kacung pun terbatas. Dalam satu hari Herman dapat menghasilkan 200 potong tahu dari 20 kilogram biji kedelai. Memang sangat sedikit karena tidak menjual melalui agen hanya cukup di tokonya saja. Selain itu cara pengolahan juga mempengaruhi dari kuantitas tahu. Tapi pada waktu-waktu tertentu seperti waktu liburan atau hari perayaan mereka akan menambah produksi. Pembelinya tentu saja tidak hanya dari kota Kediri saja tapi juga luar kota. Pelanggan dari zaman Bah Kacung hafal betul bahwa tahu dan takwa hasil produksinya memang terkenal berkadar air rendah hingga tidak cepat basi. Pembeli tahu akan segera mengenalnya dari label kemasa bertuliskan, "Perusahaan Tahu dan Takwa Bah Kacung (Cakrawijaya). Terkenal Sejak 1912. Kami tidak membuka cabang/agen dimanapun. Hanya di jalan Trunojoyo 59 – Kediri”.

“Yang terpenting saya harus dapat tetap mempertahankan citra tahu Bah Kacung. Tahu sebagai makanan yang sehat dan bergizi. Tetap melakukannya dengan jujur dan benar. Misalnya tidak menambahkan bahan-bahan yang dapat berbahaya bagi kesehatan. Ini pesan dari turun temurun” pungkas Herman. Dan kini Bah Kacung memang telah menjadi legenda Kediri.
© Sonny T Atmosentono 2009.

Komentar

Postingan Populer