The Last Man Standing of Rawabunga


Malam kian larut, gerimis kecil menyapu sebagian Jakarta. Sementara di bawah satu tiang lampu PJU pada sebuah gang kecil bilangan Rawabunga seberang stasiun kereta api Jatinegara terlihat sosok lelaki bertubuh kecil yang dengan sabar menunggui gerobak nasi goreng miliknya. Suasana sepi pelalu-lalang seperti tak membuatnya jemu untuk diam dan sendiri. Dari jendela yang basah di ruang kerja saya di lantai 3 sebuah ruko, pemandangan tiang lampu, tubuh kecil dan gerobak itu seolah jadi potret penghias dinding yang tergantung dan selalu muncul setiap malam.

Badra, demikian saat pertama kali dia memperkenalkan namanya. “Saya sudah tigapuluh tahun lebih berjualan nasi goreng di Jakarta, Mas” ujar lelaki kecil itu ketika saya iseng bertanya perihal pekerjaannya tadi. Dari kota kecil Slawi di Jawa Tengah di pertengahan tahun 70an merantau ke ibu kota atas ajakan abangnya yang sudah terlebih dahulu menjadi penjual nasi goreng keliling. Badra muda yang saat itu tak tamat sekolah dasarpun harus mulai merasakan kerasnya kehidupan metropolitan.

“Sejak pertama jualan nasi goreng dan mangkal, ya di Rawabunga ini” tutur pak Badra. Mulanya hanya membantu sang kakak berjualan, hingga tiga tahun kemudian di merasa mampu untuk mendiri dan berjualan sendiri. Rawabunga, sepertihalnya banyak kawasan lain di lingkungan dekat terminal atau stasiun di Jakarta dahulu memang bukan tempat yang ramah di malam hari. “Saya mangkal di tempat ini karena dulu di ruko tempat Mas ini ada sebuah hotel kecil. Cukup ramai orang ke sini karena hotelnya biasa buat gitu-gituan.. hehe, kan sekitar stasiun banyak perempuan nakal yang mangkal” ceritanya. Belum genap sepuluh tahun lalu, hotel tersebut kemudian dibongkar dan kemudian didirikan ruko-ruko seperti sekarang ini.

“Dulu, saya sering dipalakin orang di sini, Mas. Kadang duit hasil semalaman jualan yang tersisa tinggal seribu perak saja. Bahkan sering ada orang mabuk yang bikin ribut, yang sampe ngejungkirin gerobak saya. Maklum, kan Rawabunga waktu itu terkenal banyak preman”. Pak Badrapun mencoba untuk berkeliling menjajakan nasi gorengnya. Mulai dari sekitar Matraman hingga Gambir menjadi jalur susurannya. Namun ini hanya bertahan setahun saja. “Saya balik mangkal di sini lagi. Karena ternyata rejekinya di sini. Hasilnya lumayan lebih banyak”. “Nggak takut diganggu orang lagi ?” Tanya saya. “Takutnya udah kalah sama perut, Mas…hehe..” jawab pak Badra enteng. Dia hanya perlu mengalah dan sabar menghadapi cobaan itu. “Tapi, pas jaman petrus dulu itu, banyak preman sini yang ‘kena’. Jadi mulai agak aman”. Kesimpulan bagi pak Badra adalah setiap perbuatan pasti akan memperoleh balasannya. Bila memang rejeki itu miliknya maka Allah pasti menggantinya. Sementara setiap yang mengambil yang bukan hak-nya niscaya bersiap menerima hukumanNya.

“Saya, sejak umur enam belas tahun sampe limapuluh tahun jual nasi goreng, gak pernah pindah dari sini” katanya. Semua preman yang dulu mengganggunya sudah pada hilang. Dan umumnya dengan keadaan yang tragis. “Ada yang kena petrus, ada yang ketabrak kereta, ada yang dikirim ke Nusa Kambangan..macem-macem deh !” Dan yang tersisa di Rawabunga adalah orang-orang yang lebih jauh baik dari sebelumnya, bahkan Pak Badrapun kini sudah dianggap sebagai sesepuh di daerah tersebut. Satu bukti lagi buat saya, bahwa keikhlasan dan kesabaran akan membuat seseorang menjadi lebih tangguh daripada sekedar kekuatan fisik semata. Seperti halnya ‘Badra’ yang lain yang tokoh komik Si Buta karya Ganes TH. Badra inipun tak kalah sakti-digdayanya. Bila tidak, mana mungkin di Rawabunga dia bisa ini menjadi “The Last Man Standing” ..?! © STA-2010.

Komentar

Postingan Populer